Ibu Agung Hj. Andi Depu : Simbol Perlawanan Rakyat dan Nasionalisme

Dalam hal ini, Penulis ingin mempertegas bahwa tugas ini sesungguhnya bukan perintah Gubernur melalui Kadis, melainkan perintah Allah SWT melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Dengan kesadaran inilah sehinga kami bekerja tanpa pernah menuntut berapa bayaran dan tunjangan. Pun ketika Andi Depu menemukan takdirnya sebagai pahlawan, lagi-lagi Penulis tak pernah memposisikan diri sebagai orang yang punya andil besar dan harus diapresiasi, sebab kepahlawanan Andi Depu adalah sebuah kesyukuran yang harus dinikmati secara kolektif masyarakat Sulawesi Barat.

Kini, Nama Hajjah Andi Depu telah menjadi salah satu deretan panjang nama-nama pahlawan nasional yang kedepan akan terus dilisan tuliskan. Capaian ini menjadi buah dari proses panjang perlawanan Andi Depu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Pahlawan itu bernama Hj. Andi Depu atau Hj. Sugiranna yang nama kecilnya dikenal Andi Mania. Ia adalah Putri Arajang Balabipa ke-50, La’ju Kanna I Doro buah cintanya dengan Samaturu, wanita berdarah bangsawan Mamuju. Dalam tubuhnya mengalir empat darah bangsawan yaitu Mandar, Gowa, Jawa dan Bali. Ia menjadi wanita pertama sejak 1540 an yang menduduki jabatan Arajang Balanipa ke 52.

Hj. Andi Depu lahir pada bulan Agustus tahun 1907 (Versi Ahmad Asdy) dengan nama Andi Mania. Versi lain menyebutkan ia lahir pada tanggal I9 September I907, di sebuah kota kecil yang bernama Tinambung Kabupaten Polewali Mandar (duIu bemama Polmas: Polewali Mamasa). Versi kedua ini bisa ditemukan pada halaman 37 Skripsi Muhammad Ronggur, Biografi Ibu Depu: Sebuah Episode Perjuangan Seorang Bangsawan di Tanah Mandar. Muhammad Ronggur ini merupakan mahsiswa Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1991.

Tonggak sejarah yang mengantarkannya sebagai Pahlawan Nasional adalah jasa-jasanya merintis Fujin Kai di Mandar, sebagai organisasi pergerakan wanita Mandar tahun 1943. Ketika Proklamasi digelindingkan, ia kemudian menjadi sosok wanita yang getol menyuarakan berita kemerdekaan itu di antero Mandar. Termasuk menjadi Panglima Kelasykaran yang pada tahun 1946 kerap terlibat dalam kontak senjata dan beberapa kali menjadi tahanan Belanda. Sebagai Raja Balanipa ke-52, peran dan pengaruhnya sangat menentukan pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1950. Tahun yang sama setelah proses penyerahan kedaulatan, ia menduduki jabatan sebagai Ketua Swapraja Kemauan Rakyat Mandar. (Bersambung)

Foto Utama : Bersama Letkol Sukwati

Foto Sumber : Panitia Perumusan Tahun 2017