Pengalaman Pemerintah Hindia Belanda ketika berhubungan dengan Kerajaan Bone, sering dipersulit dengan tampilnya figur perempuan dalam pemerintahan. Pada tahun I824-1825 terjadi perang antara Pemerintah Hindia Belanda melawan Kerajaan Bone yang ketika itu dipimpin oleh seorang perempuan, I Maniratu Arung Data. Perang ini tidak menghasilkan putusan politik karena pasukan Pemerintah Hindia Belanda ditarik kembali ke Pulau Jawa dengan pecahnya perang Diponegoro pada tahun 1825. Pengalaman pahit kedua penguasa Pemerintah Hindia Belanda terjadi ketika Kerajaan Bone diperintah oleh Besse Kajuara, seorang raja yang berkelamin perempuan. Meskipun perang yang terjadi pada tahun I860 itu dimenangkan oleh Belanda, tetapi kedua pengalaman ini membuat Belanda alergi pada sosok seorang perempuan.
Putusan yang dikeluarkan oleh Dewan Hadat juga tidak dapat diubah atau dibatalkan. Disatu sisi, pengangkatan arajang dari unsur perempuan ini menjadi tradisi baru dalam sistim pemerintahan kerajaan Balanipa. Sejak Kerajaan Balanipa muncul dengan raja pertamanya I Manyyambungi Todilaling, setiap putusan Dewan Hadat harus dijalankan. Oleh karena tidak mau terjadi kerusuhan, akhirnya diambil kesepakatan bahwa yang tetap menjadi Maradia adalah Andi Depu tetapi yang menjalankan kekuasaannya adalah suaminya, Andi Baso Pawiseang. Usul ini kemudian diterima oleh Pemerintah Hindia Belanda (Seberapa benar cerita ini, belum dapat dipastikan).
Dalam sejarah panjang Kerajaan Balanipa, belum ada seorangpun perempuan yang pernah menjadi mara’dia di Kerajaan Balanipa. Dimasa lalu, pernah timbul persoalan tentang Arajang di Balanipa. Persoalan itu muncul ketika pemilihan Arajang Balanipa yang keempat. Waktu itu ada seorang perempuan yang juga diusulkan untuk menjadi mara’dia, yaitu Daetta Towaine yang merupakan anak dari Tomepayung (Arajang Balanipa ke-2 dengan Daetta Tommuane, putra dari Todijallo, Arajang Balanipa ketiga. Untuk mengatasi persoalan ketika itu, jalan tengah ditempuh dengan menikahkannya. Sejak saat itu, tidak ada seorangpun wanita yang menjadi raja di Balaipa.
Penentuan Mara’dia atau raja pada banyak wilayah di wilayah ini sejak tahun 1906, semuanya ditangani oleh pihak Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda, untuk beberapa kerajaan, telah menghilangkan status raja, bahkan jabatan tinggi dalam istana juga dihapuskan. Hal ini dikarenakan, kelompok istana atau bangsawan tinggi dipandang menjadi biang keladi dalam banyak persoalan, salah satunya adalah kemiskinan. Menurut Pemerintah Hindia Belanda, kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan seorang raja. Kerja sukarela yang dibebankan oleh raja, adalah bagian dari proses kemiskinan.