Andi Depu, Wanita Pertama Jadi Arajang Balanipa (Bagian 7)
Catatan Muhammad Munir
Fase kehidupan Andi Depu kian berwarna. Dari menjadi istri seorang Arajang sampai kepada persoalan perjuangan. Terlebih saat ia melihat bangsanya diijak-injak oleh Tokara Matanna (sebutan bagi Belanda). Bahkan sampai kepada persoalan suaminya yang dianggap lebih pro kepada semua kebijakan Belanda. Ini tentu menjadi persoalan serius sebab image ke masyarakat mesti ia jaga dan tetap harus berusaha menjaga keutuhan rumah tangganya.
Ternyata betul, Andi Baso Pawiseang dan posisi arajang mulai menjadi pembicaraan. Setelah dilakukan konsultasi antara Asisten Residen dan Dewan Adat Kerajaan Balanipa, akhirnya disetujui untuk mencari seorang figur untuk menduduki jabatan Arajang Balanipa, sesuai dengan persyaratan yang ada. Ada dua persyaratan pokok yang harus dimiliki, yaitu sudah menikah dan mengetahui adat dengan baik.
Dewan Adat Kerajaan Balanipa setelah melakukan pertemuan, akhirnya melakukan seleksi dan terpilih tiga orang yang semuanya adalah anak kandung dari Maradia ke-50, I Lajju Kanna I Doro (Tomatindo di Judda). Oleh karena sebelumnya tidak ada wanita yang pernah menduduki tahta Kerajaan Balanipa, maka prioritas diberikan kepada kedua orang anaknya yang berkelamin laki-laki.
Kesempatan diberikan kepada Andi Muhammad karena ia merupakan anak laki-Iaki tertua yang masih hidup. Andi Muhammad menolak karena ketika itu sudah menjabat sebagai Mara’dia Tomadio Campalagian. Kesempatan kedua diberikan kepada Abdul Malik yang paling bungsu. Abdul Malik juga menolak karena tidak sanggup memikul beban sebagai Arajang. Akhirnya pilihan diberikan kepada Andi Depu.
Pada waktu kedua saudara Andi Depu menolak, maka anggota Hadat pun bertanya kepada Andi Depu apakah sanggup untuk menerima jabatan itu. Tidak ada yang tahu, mengapa kemudian Andi Depu dengan suara tegas menerima jabatan itu. Pada waktu itu, jabatan maradia Balanipa dipegang sementara oleh suaminya. Apakah karena lbu Depu sudah mengetahui bahwa suaminya begitu dekat dengan Belanda dan selalu meremehkan anak bumi putera ? Tidak ada yang tahu, tetapi yang jelas Andi Depu sanggup menerima jabatan itu.
Pada waktu putusan Dewan Adat Kerajaan Balanipa disampaikan kepada Asistent Residen Mandar, penunjukan Andi Depu ditolak. Pemerintah Hindia Belanda menolak untuk menerima seorang wanita menjadi raja atau mara’dia. Pengalaman Belanda, membuat mereka menolak untuk menerima wanita sebagai penguasa. Sejak kehadiran kembali Belanda setelah berakhirnya kontrak penguasa lnggris di tahun 1816, Pemerintah Hindia Belanda telah dipersulit dengan kehadiran perempuan dalam struktur pemerintahan di wilayah ini (Sulawesi).