Jiwa-Jiwa Pejuang Itu Belum Terbayar ? (Bagian 4)
Penganugerahan Andi Depu sebagai Pahlawan Nasional tentu harus kita sambut gembira, sebab selama ber-Sulbar kita kadang direcoki pikiran minder ketika berbicara tentang Nasionalisme dan heroisme perjuangan melawan penjajahan. Betapa tidak, ratusan bahkan ribuan nyawa melayang selama rentang waktu 300 tahun dalam menegasikan identitas kita sebagai suku Mandar. Berawal ketika Daeng Mallari, Todiposso’ Di Galesong (Raja Balanipa ke-10) harus rela berkalang tanah pada Perang Galesong 1667 bersama seluruh pasukan (joa’/kalula’)nya. Demikian juga tak terhitung nyawa yang meregang nyawa ketika perang Makassar pecah tahun 1669. Orang-orang Mandar itu rela mengorbankan nyawanya demi membela saudara-saudaranya di Gowa Makassar melawan ekspansi militer Bone Belanda.
Lalu ingat ketika genderang perang ditabuh menyambut pasukan Bone Belanda ke Balanipa. Tak terhitung berapa ribu nyawa yang ikut terpanggang oleh sinar matahari ketika Daeng Rioso’ bersama Mara’dia Banggae Tomatindo di Sallombo’. Dari Sallombo’-Malaujung sampai ke muara Sungai Galang-Galang (Paku). Sungguh jiwa-jiwa itu belum terbayarkan dengan hanya penganugerahan sosok Andi Depu sebagai Pahlawan Nasional. Ingat betapa besar pengorbanan seorang Caco Pakkarappuang, I Kaco Puang Ammana Pattolawali yang meregang nyawa di Benteng Adolang. Bayangkan betapa menyedihkan ketika Kandjuha harus hilang tanpa jejak, Mara’dia Kamande yang disayat-sayat. Dan tahukah kita berapa banyak gadis-gadis kita yang direnggut keperawanannya. Bahkan bukan hanya kegadisannya yang terenggut melainkan nyawa mereka terbuang ketika peluru terpatok didahinya setelah tubuhnya usai dinikmati. Lihat bagaimana hamparan luas di Galung Lombok itu harus menjadi persemaian mayat tak berdosa ketika regu tembak pasukan Westerling memberondong mereka tanpa ampun pada 1 Februari 1947. Sekitar 700 orang yang tak berdosa tertanam (bukan terkubur) disana.
Elokkah melupakan mereka dengan hanya selembar kertas berharga ? Tentu tidak, dan sampai kapan pun, hati nurani kita tak akan mampu menerimanya. Maka seyogyanyalah dibalik kebahagiaan dan kebanggaan atas pengakuan Negara terhadap diri Andi Depu menjadi momentum kesadaran bersejarah. Kesadaran yang tentu saja harus terfaktualkan dengan cara memposisikan mereka sebagai sosok yang patut untuk dipatuhi. Makam mereka harus diurus dan dikunjungi layaknya seorang waliyullah maupun Tosalama’ kita yang makam-makamnya berderet dari Soremana sampai ke Paku. Mengapa Andi Depu dan pejuang-pejuang kita belum membumi namanya? Ini harus jadi tantangan kita kedepan. Andi Depu dan mereka yang telah mendahului kita harus terus dilisan tuliskan. Pemerintah harus hadir dalam upaya memperkenalkan sosok-sosok itu ke semua lapisan masyarakat.