Penentuan Mara’dia atau raja pada banyak wilayah di daerah ini sejak tahun I906, semuanya ditangani oleh pihak Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda, untuk beberapa kerajaan, telah menghilangkan status raja, bahkan jabatan tinggi dalam istana juga dihapuskan. Hal ini dikarenakan, kelompok istana atau bangsawan tinggi dipandang menjadi biang keladi dalam banyak persoalan, salah satunya adalah kemiskinan. Menurut Pemerintah Hindia Belanda, kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan seorang raja. Kerja sukarela yang dibebankan oleh raja, adalah bagian dari proses kemiskinan.
Sejak tahun 1880, Kerajaan Balanipa sebagai representasi kekuasaan di Mandar. Telah berada dalam kendali pusat penaklukan atas Balanipa. Sejak saat itu, banyak perubahan yang terjadi di kerajaan ini. Bukan hanya Balanipa yang mengalami hal tersebut, tetapi juga kerajaan-kerajaan lain yang ada di Mandar. Usaha penaklukan Belanda atas Balanipa juga merupakan salah satu strategi yang dijalankan oleh Belanda untuk menguasai Mandar. Balanipa sebagai pemimpin dari tujuh kerajaan dalam konfederasi pitu ba’bana binanga menjadi alasan utama penaklukan harus terfokus ke Balanipa terlebih dahulu.
Maka jangan heran jika kemudian penetapan Andi Depu sebagai raja Balanipa pada saat itu harus dikoordinasikan dengan pemerintah Hindi Belanda. Namun sepanjang tahun itu juga, parade perlawanan terhadap pemerintahan Belanda terus mengalami peningkatan. Mulai dari perlawanan yang dilakukan secara frontal sampai kepada penyusupan dalam lingkaran pemerintahan Belanda. Para penyusup ini kemudian ada yang terlena dan menikmati fasilitas bahkan rela menjadi spionase Belanda terhadap gerakan perlawanan dari masyarakat Mandar. Begitulah sifat dasar manusia yang cenderung asik melakukan kesalahan. Namun mereka yang memang punya integritas, ia mungkin tunduk tapi tetap menanduk dan mencari kesempatan untuk menyerang. (Bersambung)