Ibu Agung Hj. Andi Depu: Simbol Perlawanan Rakyat dan Nasionalisme

Trauma masa lalu itu ternyata berawal pada saat kehadiran kembali Belanda setelah berakhirnya kontrak penguasa lnggris di tahun I816, Pemerintah Hindia Belanda telah dipersulit dengan kehadiran perempuan dalam struktur pemerintahan di wilayah Sulawesi. Pengalaman Pemerintah Hindia Belanda ketika berhubungan dengan Kerajaan Bone, sering dipersulit dengan tampilnya figur perempuan dalam pemerintahan. Pada tahun I8241825 terjadi perang antara Pemerintah Hindia Belanda melawan Kerajaan Bone yang ketika itu dipimpin oleh seorang perempuan, I Maniratu Arung Data. Perang ini tidak menghasilkan putusan politik karena pasukan Pemerintah Hindia Belanda ditarik kembali ke Pulau Jawa dengan pecahnya perang Diponegoro pada tahun 1825.

Trauma kedua Pemerintah Hindia Belanda terjadi ketika Kerajaan Bone diperintah oleh Besse Kajuara, seorang raja yang berkelamin perempuan. Meskipun perang yang terjadi pada tahun 1860 itu dimenangkan oleh Belanda, tetapi kedua pengalaman ini membuat Belanda alergi pada sosok seorang perempuan. Peristiwa yang meanhun ini rupanya terbayang saat nama Andi Depu disebut-sebut sebagai Calon Arajang Balanipa berdasarkan kesepakatan Dewan Adat Kerajaaan.

Putusan yang dikeluarkan oleh Dewan Hadat juga tidak dapat diubah atau dibatalkan. Sejak Kerajaan Balanipa muncul dengan raja pertamanya I Manyyambungi Todilaling, setiap putusan Dewan Hadat harus dijalankan. Oleh karena tidak mau terjadi kerusuhan, akhirnya diambil kesepakatan bahwa yang tetap menjadi Maradia adalah Andi Depu tetapi yang menjalankan kekuasaannya adalah suaminya, Andi Baso Pawiseang. Usul ini kemudian diterima oleh Pemerintah Hindia Belanda. (Seberapa benar cerita ini, belum dapat dipastikan).

Pengangkatan Andi Depu sebagai Arajang dari jenis kelamin perempuan sempat menjadi gonjang ganjing diiternal masyarakat Balanipa. Dalam sejarah panjang Kerajaan Balanipa, belum ada seorangpun perempuan yang pernah menjadi maradia di Kerajaan Balanipa. Dimasa lalu, pernah timbul persoalan pemilihan Arajang Balanipa yang keempat. Waktu itu ada seorang perempuan yang juga diusulkan untuk menjadi maradia, yaitu Daetta Towaine yang merupakan anak dari Tomepayung (Arajang Balanipa ke-2 dengan Daetta Tommuane, putra dari Todijallo, Arajang Balanipa ketiga. Untuk mengatasi persoalan ketika itu, jalan tengah ditempuh dengan menikahkannya. Sejak saat itu, tidak ada seorangpun wanita yang menjadi raja di Balaipa.