Andi Depu kemudian dimasukkan ke dalam penjara Majene, sementara Riri Amin Daud dan Abd. Rahman Tamma dipenjarakan Hogepad Makassar. Mereka seharusnya termasuk tawanan politik atau tawanan perang, tetapi kenyataannya mereka diadili seperti penjahat kriminal. Daftar nama-nama anggota Kris Muda Mandar yang ditawan Belanda: Andi Depu, Riri Amin Daud, Abd. Rahman Tamma, Lappas Bali, Arimin Muhammad, Mahmudy Syarif, H. Abd. Razak, Mas’ud Rahman, Hasan Mangga, Iskandar, M. Amin Badawie, Juoma Laboe BRP, Ruwaeda, Ummi Hani, Sahide, A. Mappewa, A. Lelang, Nuraini Ahmad, Abd. Azis. M, Andi Takka, Badolo Waris, Abd. Rahman. M, Saal Daud, Ahmad Tabus, Mustari, Badau, Aminuddin, Kating, Yengga, Abd. Rahman, Abd. Madjid, Pua Madjid, Sakia, Abd Djalil, Supue, H. Baddu.
Selama berlangsung KMB, pemerintah Belanda membebaskan sekitar 12.000 orang tahanan antara Agustus sampai dengan Desember 1949. Mereka yang ditahan itu, bukan hanya karena berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan, tetapi juga karena mereka menentang pemerintah Belanda yang hendak memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Para tahanan yang dipenjarakan di kota Makassar (hogepad, lajang, tellokamp) misalnya jumlahnya diperkirakan lebih dari 500 orang, di Bulukumba berjumlah 762 orang dan 618 orang diantaranya dibebaskan pada awal Januari 1948, dan panitia ini melaporkan telah menampung sebanyak 1410 orang tawanan, dan sebagian dibantu mengembalikan ke Sulawesi Selatan. Sebagian dari para tahanan itu adalah para raja atau keluarga kerajaan dan pejuang yang anti Belanda.
Panitia yang dibentuk untuk membebaskan semua tawanan politik dan memperjuangkan tercapainya kemerdekaan seratus persen. Kenyataan ini menyebabkan panitia bekas tahanan politik selanjutnya membentuk panitia penyelenggara konferensi seluruh pejuang Indonesia Timur pada awal Januari 1950. Adapun panitia penyelenggara itu diketuai oleh Makkaraeng Daeng Mandjarungi; Yusuf Bauty sebagai Wakil Ketua; F. Pondaag sebagai Sekretaris; dan Riri Amin Daud sebagai wakil Sekretaris. Konferensi ini bertujuan untuk mempertemukan organisasi-organisasi perjuangan dan kelaskaran atau kelompok-kelompok perjuangan rakyat (gerilya) dan mantan tahanan politik atau tawanan perang yang telah mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan.
Selain itu, konferensi ini juga dimaksudkan untuk merumuskan keinginan mereka kembali yang telah mendasari perjuangannya, melanjutkan perjuangan, menyusun pedoman kerja. Konferensi Perjuangan Indonesia Timur akan di selenggarakan di Polongbangkeng, Pusat Perlawanan Republik paling kuat dan yang paling bertahan di Sulawesi Selatan, Markas Laskar Lipan Bajeng dan LAPRIS. Wilayah yang terletak di sebelah selatan kota Makassar di bawah kekuasaan Karaeng Polongbangkeng Padjonga Daeng Ngalle, yang setelah proklamasi kemerdekaan menyatakan bahwa wilayah kekuasaannya menjadi bagian dari RI. Padjonga Daeng. Ngalle menjadi pelindung dari gerakan rakyat yang bernama Gerakan Muda Bajeng yang kemudian berubah menjadi Laskar Lipan Bajeng, dan Mobil Batalyon Ratulangi (MBR).
Panitia konferensi mengeluarkan pengumuman pada 10 Januari 1950, disebutkan bahwa pertemuan terdiri dari dua jenis, yaitu rapat terbuka dan tertutup. Rapat terbuka dapat dihadiri oleh semua wakil-wakil kelompok pejuang, semua mantan tahanan, dan para pembesar yang diundang, sedangkan rapat tertutup hanya dihadiri oleh wakil-wakil kelompok pejuang yang mempunyai mandat dan mantan tahanan. Panitia konferensi menyebarkan tenaga ke pedalaman. Tokoh terkemuka seperti Yusuf Bauty dan Riri Amin Daud misalnya, sejak 18 Januari berkeliling sambil menggalang massa di Enrekang, Makale, dan Rantepao di Tanah Toraja. Pada 20 Januari, kembali lewat Rappang, Parepare, Pinrang, dan membelok ke kota-kota di pantai barat di wilayah Mandar.
Dalam perjalanan itu, di samping membangun hubungan dengan para mantan tahanan politik atau perang, juga menerima informasi dari masyarakat pada rapat-rapat umum yang diselenggarakan. Pada umumnya masyarakat meminta agar TNI di datangkan ke Sulawesi Selatan. Perjalanan semacam ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang lainnya. Menurut laporan panitia menjelang konferensi dimulai, sudah 27 kota-kota di pedalaman Sulawesi Selatan yang didatangi. (Bersambung)