Habis Gelap Tetaplah Gelap, Kartini di Tengah Wabah Covid-19

Oleh : Karmila Bakri

POLEWALI MANDAR, mandarnesia.com — Di tengah pandemi Covid-19 melanda ibu pertiwi, kegelapan pun semakin suram melingkari kaum perempuan di negeri ini .Sebelum pandemi Covid-19, kaum perempuan di negeri ini berkoar-koar, toh Undang-undang RUU PKS masih tarik ulur, dan tak jua menemukan titik temu sampai saat ini. UU Omnibus Law Ketenagakerjaan masih pula digantung, ah geram pun kadang hadir.

Kini wabah pandemi Covid-19 menjadi polemik, kaum perempuan dirundung dilema, mau berjuang dan berbuat apa?

Suara tapak kaki jelang subuh, sudah tidak terdengar lagi, di lorong samping rumahku. Perempuan tua, namanya Indo Oker usia jelang 100 tahun, tiap hari ke pasar menjual sayuran, dan beberapa bahan pokok di pasar tradisional. Dua kali sepekan menjejal pembeli, di antara deretan pedagang-pedagang seusianya, duduk di emperan pasar.

Kaum lansia yang masih produktif ini pun, terdampak dari adanya pandemi Covid-19, pembatasan sosial penyebabnya, memilih berdiam di rumah tanpa bekerja, juga sama hal membunuhnya pelan-pelan. Negara pun hadir memberikan janji, lewat bingkisan paket BLT, bantuan langsung tunai, dalam asa Indo Oker pun berkata “Narua bappa’ bantuan na’u” (Semoga saya mendapatkan bantuan nak).

Kornea mataku berkaca, tiada yang bisa kuperbuat selain menyaksikan, di sana pun banyak yang bernasib sama, seperti perempuan di usia senja ini, tanpa mesti harus kubukakan data-data dengan terang. Aku mengingat diskusi panjang semalam di group via WhatsApp, para jurnalis, para pemerintah di daerahku, para politisi, para aktivis, masih berdiskusi tentang data-data kemiskinan.

Aku mengutip pesan komentar salah satu politisi di group WA “Sebelum corona melanda Polman, DPRD polman sudah menyurat, ke dinas sosial agar kiranya memberikan data kemiskinan kepada DPRD, hingga saat ini kami belum mendapatkan,” ungkap salah satu anggota DPRD Polman.

Sementara anggaran BLT, bulan depan harus tuntas terbagi, nah logikanya dimana ya, data belum valid, sementara bantuan harus terbagi ke penerima manfaat. Diskusi data tak jua menghasilkan titik temu, seketika aku ragu, dan masih ragu tentang data kemiskinan. Di tengah wabah Corona, tidak bisa dipungkiri salah satu kaum yang paling terdampak adalah perempuan.

Perempuan single parents, contohnya yang harus menjadi penggerak ekonomi, kini harus dibatasi oleh aturan PSBB aku pelesetkan (Perempuan Sangat Butuh Bantuan), termaksud perempuan lansia yang tinggal sendiri, non produktif, ini wajib loh ditanggung oleh negara.

Hari ini ucapan hari Kartini, memenuhi dinding medsos. Aku tak bisa menutup mata pada jejak sejarah, R. A Kartini yang terlahir dalam belenggu feodalisme, perempuan pingitan, senantiasa memesrai diksi-diksi lewat surat, namun keberaniannya masih terbelenggu oleh lingkaran dunia keraton.

Hari ini aku pun sontak mendapatkan tulisan via WA, kawan ini namanya Abd. Rahman, penggerak Simpul Peradaban, dari Kota Palopo, Sulawesi Selatan.

“Terlalu banyak perempuan kekinian, yang terlena dengan sosok Kartini. Padahal sejatinya, terlampau banyak sosok perempuan hebat selain kartini yang dapat dijadikan contoh,” ungkapnya. “Entah kurang dalam bacaan, ataukah memang benar adanya adagium yang mengatakan bahwa sejarah ditulis oleh sang pemenang atau penguasa.”

Lanjut kuteguk segelas kopi di teras rumah, sembari aku dikagetkan oleh mobil polisi, masuk ke lorong samping rumah.

Tanyaku diam-diam, ada apa? kasus kriminal apa? pelan aku mengintip, di balik jendela, bapak polisi itu turun menghampiri Indo Oker, perempuan yang aku lukiskan di awal paragraf tadi. Satu kantongan merah berisi sembako, diberikan kepada perempuan senja itu, mata berkaca-kaca, hingga tetangga menyaksikan, sembako itu setidaknya bisa menjadi energi beberapa hari, menjemput datangnya bulan suci Ramadan.

Setidaknya beberapa hari ke depan Indo Oker, bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, dan tak mesti berkhayal mendapatkan sekarung beras tapi dalam alam mimpi. Lanjut kubuka pesan WA dari Abd. Rahman, kawan ku yang baru-baru bertemu di kegiatan literacy camp, tidak lama sebelum corona datang menyapa.

“Bukan bermaksud menggiring opini ke java sentris atau apalah, itu yang berkaitan dengan penulisan sejarah yang diburamkan, tapi kenyataan memang menggambarkan seperti itu. Terlalu banyak sejarah yang telah diburamkan, hingga menjadikan kita bertakling buta, akan sejarah tersebut, dan melupakan sosok lain yang juga sangat berperan penting dalam sejarah sendiri,” lanjut Rahman.

“Mungkin rekonstruksi penulisan sejarah, sudah saatnya dilakukan, agar generasi ke depan tidak lagi dicekoki dengan sejarah ngawur, yang menjunjung patronase dan menafikan sosok lain yang juga berperan aktif dalam sejarah,” terang Abd. Rahman.

Kopiku semakin asyik kuseruput, ahh asyik juga membaca pesan chat WA kawanku ini, kue apang yang kusandingkan dengan kopi asli buatan petani di kampung, sudah hampir ludes.

“Kartini bukan satu-satunya sosok perempuan hebat, masih banyak sosok perempuan hebat lainnya. Namun, bagaimana kita bisa mengetahui sosok lain tersebut, jika kita terus terlena dan tak pernah mempertanyakan sejarah yang dicecoki ke dalam kepala kita, silahkan ambil bukumu! dan tinggalkan kekasihmu,” tutup Abd. Rahman

Kulirik di lemari rak buku, ada buku pejuang lokal dari Sulawesi Barat, Andi Depu, beliau pejuang lokal yang bertarung berada di garis depan, pemimpin perang melawan penjajah, hormatku penuh kagum. Di Nusantara ini, banyak pejuang-pejuang hebat, ada Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Dewi Sartika, Laksamana Malahayati, Opu Daeng Risadju dan masih banyak lagi pejuang-pejuang nusantara yang berani, dan merdeka melabrak tatanan feodalisme. Di belahan dunia pun kita bisa mengambil inspirasi, dari pejuang perempuan revolusioner.

Ada tokoh perempuan, Vandana Shiva dengan pemantik energinya “Bagi saya tidak ada kompromi cara berfikir, ilmu, atau pembangunan yang menghancurkan kehidupan, lingkungan dan manusia, harus dilawan, harus dihentikan, saya labrak industry yang menciptakan kelaparan, privatisasi air, rekayasa genetika, dan pasar bebas, saya ingin menghidupkan paradigma alternative, ekofeminisme, saya percaya ideology feminist, merawat dan melestarikan kehidupan.”

Segelas kopi pun ludes, menyisahkan ampas kopi, hingga matahari kian beranjak tepat di atas kepala. Aku kembali menelusuri lorong kata.

Seorang tokoh perempuan dunia, Nawal Saadawi, berkata “Saya mendirikan dan menjadi presiden Arab Women’s Solidarity Association For Human Rights, perjalanan masih panjang, lihatlah negeri kami, yang berdarah-darah, kita sunguh-sungguh perlu belajar, menjadi manusia beradab.”

“Menghargai kehidupan, menghentikan kebohongan, menghentikan penindasan, dan penghisapan,” tulisan tokoh perempuan ini, memacu adrenalinku seketika, bertanya ada apa dengan Kartini? Aku masih menyaksikan habis gelap masih gelap.

Suara merdu guru ngaji perempuan, di samping rumah pun meneduhkan batin, turut hormat pada beliau, perempuan yang masih konsisten mengajarkan literasi qurani kepada generasi, merawat tradisi lokal, di tengah godaan modernisasi.

Foto : republika.co.id