(Apresiasi Kumpulan Cerpen Prajurit yang Nakal Karya Andi Wanua Tangke)
Oleh: Sri Musdikawati
Penulis mengenal Andi Wanua Tangke (AWT) 30 Tahun lebih yang lalu sebagai seorang jurnalis, saat itu setahu saya dia begitu fokus menjadi seorang jurnalis dan juga seorang cerpenis. perpaduan dua kemampuan itu menjadikan AWT seorang prosais yang kaya dengan fakta pada imajinasinya. Menurut Sugihastuti (2007:8). Sudah menjadi kebenaran umum bahwa pengalaman seseorang dalam kehidupan pribadinya akan membentuk keyakinan dan nilai-nilai kehidupannya, tapi itu bukan suatu keharusan bahwa sebuah karya sastra mesti mengenai kehidupan pribadi atau keadaan psikologis pengarangnya.
Buku yang terdiri dari 19 cerpen dengan beberapa klasifikasi dan jenis cerpen, dengan jumlah halaman 131 sampul yang eksklusif menggunakan laminasi doff dan desain sampul yang menarik. Sebelum menjadi buku kumpulan cerpen, saya sempat membaca beberapa cerpen yang kemudian menjadi bagian dalam buku kumpulan cerpen “Prajurit yang Nakal” ini, dan saya sudah “jatuh cinta” pada cerpen-cerpen itu kemudian mencoba menelisik dan mengulik isinya. Sebagai seorang jurnalis kepiawiannya menulis dan meracik fakta menjadi cerpen membuat buku ini cukup “bergizi” untuk dibaca.
Kelebihan cerpen-cerpen AWT pada metode penyajiannya, cerpen-cerpennya disajikan dengan bahasa yang sederhana dan lembut sekalipun itu teriakan kemanusiaan, saat membaca cerpennya, pembaca dibuat larut pada suasana yang seolah nyata mengajak pembaca masuk dan melebur dalam ceritanya, serasa pembaca menjadi bagian dari cerita itu, sampai kemudian kita tersadar cerpen itu telah tiba pada endingnya yang penuh kejutan. AWT mampu menghidupkan setiap kata dalam cerpennya
Judul dari cerpen-cerpen inipun sederhana dan mudah dicerna, mungkin karena AWT seorang jurnalis, Ia tidak menuliskan judul “bersayap” yang penuh misteri dan mengerutkan kening, judulnya cenderung apa adanya, dari sisi tema-jika dibedah dan dikelompokan-akan menjadi beberapa tema, yaitu tema sosial politik, tema romantik, dan gender. Sepertinya dengan kumpulan cerpen Prajurit yang Nakal karya ini AWT ingin menggambarkan bahwa karya sastra itu tidak otonom, ada sesuatu dibalik cerita yang real meskipun dalam kemasan fiksi. Menurut Bakhtin dalam Endraswara (2002: 79) karya sastra adalah teks penting yang dapat menangkap signifikasi-signifikasi sosial.
Saya akan mencoba mulai “meronce” apresiasi ini dari sisi tema sosial. AWT adalah demonstran dan seorang demonstran sejatinya tidak harus turun ke jalan dan berteriak menyampaikan aspirasinya, tapi teriakan seorang penulis itu dilakukan melalui “kata”, betapa tajamnya mata pisau seorang penulis- dan AWT sangat piawai melakukan itu. Tulisannya selalu berupa teriakan-teriakan kemanusiaan yang terkadang dikemas dalam bahasa yang sederhana dan lembut tapi menggigit, cerpen dengan tema sosial politis ini sangat menarik untuk dibaca. Dalam cerpen Pak Hakim dan 9 Kerbau misalnya tergambar bagaimana Pak Wongso menyampaikan hormatnya kepada Pak Her seorang jaksa yang dianggap bersih, tapi dialog dua lelaki tua justru menggugurkan kesan “bersih’ itu, ada sesuatu dibalik oknum jaksa tersebut, dialognya adalah :
“Kalau pakaiannya memang selalu bersih itu saya akui”
“Perbuatannya sebagai hakim”
“Kotor”
“Kotor bagaimana?”
Pah Her hakim kotor tidak bersih”
“Ah, jangan bicara sembarangan. Kau bia ditangkap. Dikenakan dengan pasal penghinaan”
“Kalau tidak benar itu namanya penghinaan. Kalau benar bagaimana?
“Kau tidak bisa buktikan?”…..
Dialog ini menunjukan ada penyakit sosial dan kemanusiaan yang terjadi dalam masyarakat kita. Ada sesuatu yang “kotor” dibalik kesan “bersih” pada kasus hukum yang kasat mata.
Sependek pengetahuan saya AWT jarang menulis tema romantik, kalaupun menuliskan cerpen romantik dia tidak melupakan cirinya yaitu tidak bermain di ruang hampa, Seidealis-idealisnya seseorang ia punya sisi romantik, ada dua cerpen yang tertulis dalam kumcer ini yang bercerita tentang kisah asmara, meskipun ini cerita romantik, tapi tidak menghilangkan ciri khas AWT dalam tulisannya. Dua judul cerpennya yaitu Pengecut dan Pertemuan di La Galigo cenderung tidak bombastis bercerita, kalimatnya serasa lembut. Ia hanya serupa rekaman perjalanan masa lalu yang dikemas dalam imajinasi yang kuat seorang AWT, ini yang disebut oleh Joko Saryono pengalaman literer estetis yaitu pengalaman-pengalaman keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, kememikatan dan kemanaan (ingat: pana-terpana) yang dimungkinkan segala unsur pengada karya sastra.
Kutipan dialog dalam cerpen Pengecut adalah:
“Malam itu entah kenapa. Aku seperti kehilangan bahan bicara. Gugup, sepertinya diapun demikian. Aku dan dia lebih banyak saling menatap, lalu senyum terkulum. Hal itu berulang kali kami lakukan. Dan terakhir menjelang permisi, aku berani menatapnya agak lama”………
Kesan romantik dari dua orang yang sedang merasakan getar istimewa-yang malu-malu-sangat terasa dalam kalimat-kalimat sederhana itu. Ada yang sulit diungkap secara verbal tapi tergambar pada bahasa tubuh ke dua tokohnya.
Lalu, cerpen bertema gender bisa dibaca pada beberapa judul, misalnya cerpen yang berjudul Misteri Ruang Kerja dan cerpen Bungkam, kesan saya sebagai pembaca, dalam cerita apapun perempuan selalu jadi korban kalaupun ia mampu “melawan” ia selalu tetap diupayakan dibungkam. Pada cerpen Bungkam ini tokohnya adalah seorang perempuan yang bernama Nuril-yang jadi korban pembungkaman oleh oknum yang “berkuasa”, cerpen ini bersumber dari berita, demikian juga cepen Misteri Ruang Kerja, cerita tentang seorang perempuan yang bernama Titin Tiningsih, Tini yang luwes bergaul, bersifat pemurah berwajah cantik alami, memiliki otak di atas rata-rata, sangat cerdas tapi ia korban seorang oknum pejabat.
Kesimpulannya AWT sangat piawai mengemas realitas sosial menjadi cerpen, irisan antara imjinasi dan fakta sangat dekat, tema cerpennya sangat kental dengan isu-isu sosial, kemampuannya meneriakan keresahannya melihat ketidakadilan, korupsi, isu gender dalam kehidupan ini bersesuaian dengan kekentalannya sebagai aktivis sastra dan penulis menjulukinya ‘demonstran sastra’.
Polewali, November 2020- April 2021
Sri Musdikawati, Lahir, menikah dan bekerja di Polewali Mandar Sulawesi Barat. Pendiri Yayasan Darputri dan pemerhati budaya Mandar, Guru SMA Negeri Matakali Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat, dan mengajar pada beberapa Perguruan Tinggi di Sulawesi Barat. Lulus S1 dan S2 di Universitas Hasanuddin dan menyelesikan program doktornya di Universitas Negeri Makassar Sulawesi Selatan. Mulai menulis di Koran sejak kelas 1 SMA, menerbitkan beberapa antologi, tapi baru saja meluncurkan buku tunggal dalam kumpulan puisi Ekuilibrium,