Oleh: Adrian Arif
Tahun ini menjadi salah satu ajang politik terpanas sebelum sampai ke puncak demokrasi. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak 2018 di sebagian besar daerah di Indonesia dijadikan sebagai jembatan suksesnya PILPRES (pemilihan presiden) tahun depan.
Sama halnya dengan peristiwa pemilihan kepala daerah di kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat pun saat ini sedang memanas dengan adanya dua pasangan calon yang sudah mendaftarkan diri ke KPU (komisi pemilihan umum) setempat, yang sama-sama memiliki keunggulan dan prestasi tersendiri di mata masyarakat Polewali Mandar.
Banyak dari masyarakat yang sudah mulai mengutarakan pendapatnya seputar PILKADA (pemilihan kepala daerah) ini dan masing-masing memuja-muji PASLON (pasangan calon) yang mereka dambakan menjadi pemimpinnya kelak. Tapi tak lain dari antusiasme sebagian besar masyarakat ada pula yang berfikiran untuk tidak memilih sebab akan sama saja hasilnya. Politik dipandang sebagai alat untuk menindas rakyat, otoriter dan tiranik. Sangat bertolak belakang dengan tujuan politik pada umumnya sebagai sarana kepentingan rakyat.
Apalagi pada lingkungan pemuda yang sebagian hanya memilih pemimpin berdasarkan imbalan tertentu yang dapat mereka langsung nikmati (uang kotor). Tanpa melihat apa prestasi, dan apa pula yang pernah disumbangsihkan paslon tersebut pada daerahnya. Padahal ini adalah taruhan lima tahun ke depan untuk daerahnya, kepentingan daerah ke depan diperlemah dengan argumen yang sudah menggerogoti pikiran pemuda-pemuda ini bahwasahnya, ” yang punya uanglah yang dapat suara”.
Bahkan seringkali di masyarakat, utamanya daerah terpencil lebih suka mengamankan diri dengan cara menjauh dari sentuhan politik. Karena politik lebih banyak mempertontonkan adegan sandiwara, saling serang, rebut kuasa dan korupsi gerombolan yang begitu vulgar.
“Kalau kita berbohong kepada penguasa disebut tindak kejahatan besar, tetapi kalau mereka yang berbohong kepada kita itu di bilang politik,” sindir Bill Murray, aktor Hollywood pada pemerintah Amerika Serikat. Padahal tak bisa kita pungkiri bahwa politik adalah penting untuk kesejahteraan ke depannya seperti halnya yang di katakan oleh George Orwell, penulis novel Distopia terkenal 1984(1949), “Di zaman kita tidak ada yang bisa menjauhkan diri dari politik”. Politik itu sendiri penuh dengan kebohongan, kebodohan, pengelakan, kebencian dan skizofrenia, ujar pemilik nama asli Eric Arthur Blair (1903-1950)ini.
Polewali Mandar sebagai daerah yang masih sangat kental dengan adat istiadatnya terkadang pula hanya menimbang pemimpin dari latar belakang keluarganya (keturunan), ini akan menjadi hal yang menarik dan bergengsi jika kita tinjau dari segi tersebut. Sebab pada paslon pertama di tempati MAYJEND (purn) SALIM S MENGGA dan H MARWAN, ST, yang mana beliau adalah anak dari mantan Bupati Polewali Mandar selama dua periode dan beliau pernah menjabat sebagai anggota DPR-RI. Salim S Mengga pun berkata pada kampanye damai 18/08/18 lalu bahwa,” saya berharap kepada KPU kabupaten Polewali Mandar, supaya ke depan saya dan kandidat nomor dua ini betul-betul bisa melakukan kampanye ini dengan aman, tertib dan sukses”. Beliau pun menegaskan agar Pilkada ini bisa berjalan dengan lancar, sebab 80% kerusuhan dalam Pilkada disebabkan oleh ketidakprofesionalan dari penyelenggara.
Paslon kedua ada ANDI IBRAHIM MASDAR dan NATSIR RAHMAT, pasangan ini sudah terbilang dekat dengan masyarakat Polewali Mandar pada umumnya dengan kepemimpinannya selama lima tahun belakangan ini. Ditunjang pula dengan beberapa sarana dan prasarana yang di realisasikan oleh paslon ini pada masa jabatannya.
Hanya masyarakat Polewali Mandar-lah yang akan menjawab keunggulan dan kepantasaan salah satu dari paslon untuk memimpin kabupaten Polewali Mandar lima tahun ke depan. Entah dari keproduktifan kedua paslon yang dinilai atau dari kedaerahannya. (*)
Adrian Arif
Mahasiswa Universitas Janabadra
Angkatan 2017
Fakultas Hukum
Jurusan Ilmu Hukum