Catatan Mini: OASE MA CAMMANA

Oleh : M. Rahmat Muchtar

Tabuhan gendang pattu’du’ berhenti. Gemulai para penari berganti pola. Perlahan melengking suara nyanyian mengiringi belasan dara gadis Mandar hayati gerak. Pelan ayunkan kipas.

Nyanyian tanpa musik menghela semua cuaca bertualang ke cakrawala. Ke ubun semesta.
Ya, suara khas dan merdu itu dianugerahkan Tuhan kepada perempuan yang sungguh luar biasa. Ialah ma Cammana sapaan akrabnya di antara kami.

Sekitar tahun 90an saya mengenalnya. Waktu itu, saat masih SMP nimbrung menjadi pemukul gendang pattu’du’ bersama saudara Bedi (almarhum), Agung, Rahmat Asiz dan Naim. Ibarat dalam satu keluarga, saya yang paling bontot. Ma Cammana yang paling tua, meski belum tua sekali. Kusadari penuh, Ketika kami rehat memukul gendang, beliau lanjut nembang. Saat ia berhenti, kami pun lanjut variasi gendang. Penari terus bergerak pelan. Mengalir sekali. Seperti nafas yang kita hirup.

Tabuhan gendang itu kembali terngiang. Suara Ma Cammana menembus ngiang. Senin, 7 September 2020. Sore hari di Limboro, Beliau telah lanjutkan perjalanan masa lebih dulu. Keharibaan yang Maha Esa. kanvas putih di depanku, padatkan ingatan pada kain kafan. Menghela sadar bahwa hari-hari manusia perlahan menggali kuburannya sendiri. Tak ada yang tahu pasti. Karena ia lebih dekat dari urat leher kita.

Semula saya belum tahu kalau beliau juga penabuh rebana perempuan dan mempunyai grup di Limboro. Bahkan di luar dari sekedar penabuh rebana. Pelantun salawat nabi dan guru spiritual melekat padanya.

Waktu itu, masih masa SMP, kegiatan-kegiatan pertunjukan kesenian yang saya ikuti masih seputar pemain gendang iringi pattu’du. Yang saya sadari, saat Teater Flamboyan yang memang getol keramasi kebudayaan lewat akar tradisi, membuka pematang bagi ladang pertunjukan tradisional Mandar, terkhusus kelompok rebana ma Cammana. Lewat lumbung kebudayaan itulah akhirnya Ma Cammana ditaksir Cak Nun. Menjadi sahabat sunyi, menjadi saudara, menjadi kekasih. Maiyah Dunia akhirat. Al Fatihah.

Mat
7, September 2020