Catatan dari Balaroa dan Petobo

Oleh Adi Arwan Alimin

[perfectpullquote align=”left” bordertop=”false” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=””]TIO Sulistiono tak pernah menduga petaka besar akan menimpa Kota Palu. Ia tinggal bersama keluarganya di BTN Petobo. Pada Jumat petang seperti biasa, ia belum berada di rumah. Istrinya yang bekerja sampai sore juga tak di rumah. Sementara putrinya sedang di jalan hendak pulang.[/perfectpullquote]

Rumahnya tepat berada di sisi jalan tak jauh dari gerbang perumahan. Penulis Jumat siang bertemu Tio, yang menengok rumahnya yang sebagian retak. Meski tak tertelan liquefaksi, namun kondisi tempat tinggalnya tak lagi dapat menjadi hunian. Dapurnya bergeser, pagar dan sebatang pohon yang sekaligus tiang pagar halaman, kini terhimpit ke badan rumah.

Limpahan lumpur yang menelan ribuan orang di Petobo, seperti hanya lewat di rumah Tio yang bekerja di Dinas Perhubungan Sulteng. Namun tetangganya yang lain di belakang, di samping dan di depan menjadi korban tanah yang seperti memblender kawasan itu.

Fenomena ini membuat kita tercengang, lelehan lumpur yang disertai tanah yang terbelah itu seperti memiliki “mata” hingga dapat melumat apa saja, dan berkelok menghindari apa yang kini tersisa. Penulis bersama rombongan menjangkau area ini setelah mengambil jalur belakang perumahan.

Kami melewati pintu gerbang dari bambu yang dibuat Agustusan kemarin. Tiga bendera merah putih terus berkibar di atasnya. Sementara di sisi perempatan penulis melihat bendera lain, berwarna merah-kuning. Mungkin bendera semapore Pramuka yang ditemukan warga lalu dipancang di sana, atau ada maksud lain. Namun posisinya cukup mencolok.

Jumat kemarin, jalur lebih lapang ke Petobo dilarang dilintasi. Beberapa kendaraan dan alat berat memang terlihat berada di ujung pintu masuk. Kami harus mengambil jalan lebih jauh kemudian memasuki perumahan yang kini sangat sunyi. Ibarat ditinggal mudik, tapi suasana di sana jauh lebih hening. Sebagian rumah terkunci, dan beberapa diantaranya terbuka. Air juga merembes dari dalam rumah warga yang membuat genangan di jalanan kompleks.

Penulis menduga, undakan berumput dan dipenuhi tumpukan material di bagian belakang rumah warga itu adalah kontur yang telah ada sebelumnya. Ternyata inilah bagian dari lumpur bergerak yang mengirim persawahan yang berjarak ratusan meter di hulu. Lebih menggetarkan lagi ketika pak Tio mengatakan, di bawah tanah yang setinggi bubungan rumah itu, tempat kaki kami mendengar kisahnya, tidak terhitung orang yang meregang nyawa.

“Jenazah yang bisa dievakuasi pada hari-hari pertama hanya terlihat di bagian atas. Yang lainnya belum digali,” ujar Sahran Ahmad, Ketua KPU Pasangkayu, yang pada hari Sabtu sehari setelah tsunami Palu telah memasuki kawasan bencana mencari keluarganya. Pernyataan Sahran ini diaminkan Tio yang mengaku sempat ke Kota Mamuju menenangkan diri.
***
Jumat, 12 Oktober. Jelang sore suasana cukup menyengat di kawasan Petobo. Sejauh mata memandang terbentang lumpur yang mulai mengeras. Beberapa bagian masih cukup lunak bila dilintasi. Entah berapa tonase tumpukan material yang menurut sebagian saksi mata, seperti dihancurkan dalam wadah blender.

“Mertua saya terlepas dan ikut hilang. Situasi saat kejadian seperti berputar,” tutur seorang warga Petobo yang Jumat kemarin juga datang melihat kondisi rumahnya yang sebagian dilumat lumpur. Ia terlihat mengais barang miliknya yang masih dapat digunakan.

Di perumahan Petobo, Kota Palu, sekitar 1.700 rumah tertelan bumi setelah gempa menyebabkan tanah menjadi cair, sebut Badan SAR Nasional. Ratusan hingga ribuan orang diyakini terkubur. Tio hanya mengapungkan tangan di udara untuk menunjukkan kawasan tempat tinggalnya yang dahulu ramai. Sesekali ia memandangi rumahnya yang persis berada di tepian lumpur likuifaksi.

Gundukan tanah sisa lumpur yang kini mulai mengeras, bagai bukit bercampur puing bangunan di atas area seluas 180 hektare merupakan medan yang tidak dapat lagi dihuni. Sebuah menara masjid berwarna hijau ikut tertanam di sana.

“Itu bagian masjid. Sebelumnya kira-kira 50 meter dari sini,” kisah Tio.

***
Di hari yang sama, Jumat 12 Oktober, penulis juga menengok kawasan Perumnas Balaroa. Jika di Petobo kita menyaksikan bencana lumpur yang bergerak, maka di Balaroa pandangan mata akan melihat jalan aspal yang merekah, atau saling bertumbukan. Kendaraan roda empat harus zig-zag untuk melewati jalur yang dahulu datar, kini berubah menurun atau mendaki.

Balaroa cukup tinggi dan tidak dijangkau tsunami. Namun gempa yang disebabkan oleh lempengan bumi yang saling bertumbukan satu sama lain menyebabkan sebagian besar area luluhlantak. Lindu ini terjadi secara konstan, namun tumbukannya kerap cukup besar dan relatif sangat dekat dengan area padat penduduk sehingga menimbulkan konsekuensi parah.

Penulis merasa nanar ketika berdiri di ketinggian Balaroa, lalu menyapu pandang ke arah kota. Tiada yang tersisa lagi. Bagaimana cara korban harus menyelamatkan diri dari malapetaka sebesar ini? Material bangunan atau benda apapun dan tanah yang bergerak saling bertumbuk.

Kita tak akan mampu membayangkan kegaduhan dan ketakutan di Balaroa ketika itu. Yang pasti tidak ada korban selamat yang ditemukan pada hari ketiga penyelamatan. Saat melihat Balaroa dari dekat kemarin, aroma kematian masih menyengat. Itu menunjukkan bahwa di bawah puing-puing mungkin masih terdapat korban yang tak sempat dievakuasi.

Balaroa dan Petobo merupakan pemukiman yang hancur akibat gempa dan likuifaksi. Dua daerah itu, awalnya masing-masing diperkirakan terdiri dari 1.471 dan 2.050 rumah. Kabarnya pemerintah akan mengosongkan kawasan ini.

Balaroa dan Petobo meninggalkan catatan penting bagi kita. Mengenai mitigasi bencana dan cara pengelolaan tata ruang wilayah yang harus memperhatikan banyak aspek lain. Faktor geologi misalnya. Juga manajemen penanggulangan bencana.

Pascagempa dan tsunami di Sulteng, terlalu banyak hikmah yang harus dipetik. Bukan hanya soal ekonomi yang membangkrutkan warga, trauma berkepanjangan anak-anak, makna solidaritas, dan dampak masalah sosial lainnya di kemudian hari. Juga tentang menebalnya keyakinan kita pada Tauhid. Sungguh kita melihat itu dekat sekali. Ini selarik iktibar.

***
Mulai saat ini, pemerintah di daerah kita perlu menghitung atau mendesain pola mitigasi untuk menghindari dampak bencana di masa datang. Bukankah Sulawesi Barat ini bagian dari jalur cincin api pasifik. Tak heran pascagempa di Sulteng kita pun terus merasakan bumi lindu.

Literasi masyarakat terhadap gempa bumi dan tsunami penulis lihat perlahan tumbuh. Sebagian orang kini memantau atau memindai sendiri dari aplikasi BMKG, kesadaran ini seharusnya diikuti selangkah lebih cerdas jajaran terkait. Rencana tata ruang wilayah tidak seharusnya hanya mereken potensi ekonomi, dan investasi tetapi juga mengenai kalkulasi bencana. Apalagi jazirah ini memiliki riwayat gempa dan tsunami.

Palu-Mamuju, 14 Oktober 2018

Catatan dan Foto : FB Adi Arwan Alimin Mandar