Buzzer, Musuh Demokrasi dan Musuh Pancasila

Oleh : Muqaddim*

Buzzer merupakan kata dari bahasa Inggris yang artinya sesuatu yang mendengung atau berdering, atau orang yang mengampanyekan sesuatu. Dalam terjemahan di atas, keberadaan buzzer di tengah-tengah masyarakat demokrasi sebenarnya tidak ada masalah. Terutama di Indonesia yang notabane negara kepualuan. Dibutuhkan media atau alat pembantu arus informasi. Tetapi, pertanyaannya adalah apakah buzzer-buzzer itu dibiayai untuk mensosialisasikan program pemerintah atau untuk kepentingan lain? Pertanyaan kedua adalah bagaimana buzzer itu merusak demokrasi dan menjadi musuh demokrasi serta musuh Pancasila secara bersamaan?. Kedua pertanyaan sederhana itu akan saya coba jawab secara sederhana pula.

Buzzer Musuh Demokrasi

Ulasan ilmuwan Oxford dalam laporan yang bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation berhasil mengungkap bahwa pengerahan buzzer dalam sosial media telah dilakukan di banyak negara termasuk di Indonesia. Dalam laporannya, ada lima platforms media sosial yang digunakan buzzer dalam melakukan aksinya. Kelima platforms itu adalah Twitter, Facebook, WhatsApp, You Tube, dan Instagram. Data penggunaan platforms media sosial dalam aktivitas buzzer berdasarkan negaranya juga diungkap dalam laporan itu. Secara angka, Facebook digunakan oleh 56 negara termasuk Indonesia, Twitter digunakan 47 negara termasuk Indonesia, WhatsApp digunakan oleh 12 negara termasuk Indonesia, You Tube digunakan oleh 12 negara tidak termasuk Indonesia, dan Instagram oleh 8 negara juga termasuk Indonesia. Gawatnya, Indonesia hampir menggunakan lima platforms media sosial itu.

Mengapa saya sebut itu gawat, karena hasil penelitian yang dilakukan oleh Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dalam The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation mengungkapkan bahwa buzzer dimanfaatkan oleh politikus, partai-partai politik, dan kontraktor swasta untuk menyebarkan propaganda yang pro pemerintah, menyerang lawan politik serta menyebarkan informasi untuk memecah belah publik. Hasil penelitian itu juga mengungkapkan bahwa buzzer Indonesia menerima bayaran 1 – 50 juta untuk menggiring isu. Hal ini secara jelas dan tegas bertentangan dengan konsep demokrasi yang sudah umum diketahui orang. Bukan masalah berapa jumlah uangnya, tetapi masalah skema penggiringan isu yang juga bermotif memecah belah publik menjadi isu yang sangat krusial bagi negara demokrasi yang hidup dalam bingkai kebhinekaan.

Pertanyaan pertama di awal tulisan ini telah terjawab dengan jelas. Buzzer yang dibiayai oleh pihak-pihak tertentu tersebut ternyata bertujuan untuk mengaminkan bahwa pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah telah berhasil menjalankan tugasnya sebagai eksekutor amanat undang-undang. Atau lebih jelasnya buzzer menggiring isu bahwa pemerintah dan partai-partai pendukungnya telah berhasil mengelola negara ini dengan baik. Persoalannya adalah, jika memang pemerintah dan partai-partai pendukungnya mengklaim demikiran, kenapa harus menggunakan jasa buzzer dalam mensosialisasikan capaiannya? Ternyata, temuan Samantha Bradshaw dan Philip N Howard mengatakan bahwa buzzer dibiayai tidak murni mensosialisasikan capaian pemerintah melainkan untuk memecah belah publik dan menyerang lawan politiknya.

Sementara itu, demokrasi kita pahami bersama memandang publik sebagai subjek kebijakan publik. Maksudnya, demokrasi membutuhkan keutamaan kepentingan publik. Dalam hal ke Indonesiaan, demokrasi membutuhkan keutamaan rakyatnya untuk mencapai tujuan-tujuan negara. Bukan menjadi objek pemerintah untuk melanggengkan kekuasaanya.

Jika diurai kembali salah satu tujuan pengerahan buzzer untuk memecah belah atau manipulasi publik, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pemerintah menjadikan masyarakat sebagai objek untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini sudah bertentangan dengan tujuan demokrasi itu sendiri yang menghendaki publik sebagai subjek utama pemerintahan. Subjek dalam artian menjadi pelaku untuk menjamin kesejahteraannya sekaligus subjek berarti kepentingan publik menjadi instrumen utama menuju tercapainya tujuan negara.

Keberadaan buzzer dengan tujuan-tujuan di atas mengindikasikan demokrasi sebagai musuh yang nyata. Segaris dengan itu, demokrasi menganggap buzzer sebagai musuh. Konsep demokrasi yang memandang kepentingan publik sebagai instrument utama justru dirusak oleh keberadaan buzzer yang beraksi atas dasar kepentingan penguasa dan koleganya.

Buzzer Musuh Pancasila

Jika demokrasi terganggu oleh buzzer, lantas bagaimana dengan Pancasila?. Jawabannya adalah sangat mengganggu. Kehidupan Pancasila dengan sila-sela yang terkandung di dalamnya jelas bertentangan dengan aksi manipulasi dan perpecahan ala buzzer. Sila ketiga misalnya, Persatuan Indonesia akan terancam oleh aksi pecah belah yang dilakukan oleh buzzer. Padahal Pancasila menghendaki persatuan dalam keberagaman. Prinsip itu sudah umum dikenal dengan sebutan bhineka tunggal ika.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah demokrasi dalam Pancasila membutuhkan permusyawaratan untuk permufakatan. Dalam mencapai mufakat itu, dibutuhkan kebijaksanaan yang hikmat. Artinya Pancasila sangat menjunjung tinggi filosofis kemanusiaan. Jika makna filosofis itu saja sudah diingkari, maka tidak ada jaminan Pancasila bisa berdiri tegak sebagai ideologi tunggal negara. Kaitannya dengan buzzer menyoal skema aksinya yang cenderung menggiring opini propaganda untuk kepentingan penguasa bukan untuk kepentingan hikmat masyarakat. Hal ini sudah jauh berseberangan dengan tujuan dan visi utama Pancasila yang disusun oleh para pendiri bangsa kita.

Solusinya adalah, pemahaman ideologi Pancasila harus tetap menjadi suatu keniscayaan. Terutama bagi para pejabat pemerintah dan DPR. Dengan begitu, defenisi dan perspektif kita terhadap makna dan visi Pancasila dapat sejalan. Baik masyarakat maupun pemerintah bisa saling berjalan beriringan, mekanisme check and balances bisa berjalan di atas relnya Pancasila, serta prinsip demorkasi bisa berjalan tanpa motif sentiment terhadap lawan politik. Sehingga dengan begitu, semua pihak tidak membutuhkan lagi buzzer untuk melakukan propaganda opini demi kepentingan masing-masing.

Sumber ilustrasi : https://gardamaya.com

*Mahasiswa s2 Ilmu Politik Universitas Nasional