Bemme Tamai di Wakeqna: Menjadi Rumpun yang Menumbuhkan

Oleh: Muliadi Saleh

Orang Mandar,  punya satu ungkapan bijak yang sering terdengar di percakapan harian, tapi maknanya tak pernah habis digali: “Bemme tamai di wakeqna.” Wakeq berarti akar –red. Bambu itu tak akan tumbuh jauh dari rumpunnya. Serupa dengan pepatah yang sering kita dengar, “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.”

Ungkapan ini tidak hanya mencerminkan kemiripan fisik atau garis keturunan, tetapi lebih dalam dari itu : ia mengandung makna tentang watak, nilai, dan perilaku yang mengalir dari orang tua kepada anak-anaknya.

Ungkapan ini bukan sekadar peribahasa, tapi cerminan bagaimana orang Mandar—dan banyak masyarakat tradisional lainnya—memahami proses pendidikan dan pembentukan karakter anak. Bahwa anak, pada dasarnya, tumbuh dari apa yang ia lihat dan alami di sekitar orang tuanya. Seperti bambu yang tumbuh berdekatan dengan induknya, anak-anak pun tumbuh dalam bayangan nilai, sikap, dan kebiasaan orang tuanya.

Jadi, kalau kita ingin melihat bagaimana generasi masa depan, cukup lihat cara hidup orang tua hari ini.

Anak Belajar dari Apa yang Kita Lakukan, Bukan Sekadar Apa yang Kita Katakan

Anak-anak itu peniru ulung. Mereka menyerap bukan cuma pelajaran di sekolah, tapi juga sikap kita saat di rumah. Mereka belajar bagaimana ayah menyapa tetangga, bagaimana ibu menyelesaikan masalah, bagaimana orang tua menunjukkan kasih sayang—atau sebaliknya.

Itulah kenapa dalam Islam, pendidikan karakter bukan sekadar teori, tapi dimulai dari teladan. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut Rasulullah SAW sebagai uswatun hasanah—teladan yang baik (QS. Al-Ahzab: 21). Ini jadi pengingat, bahwa mendidik bukan cuma soal memerintah atau melarang, tapi lebih dulu menunjukkan lewat perbuatan.

Imam Al-Ghazali bahkan bilang, anak itu seperti permata murni. Kalau diasah dengan baik, akan jadi indah dan bernilai. Tapi kalau dibiarkan, bisa jadi terabaikan dan kehilangan bentuknya . “Anak adalah amanah bagi orang tuanya. Hatinya suci, mutiara yang berharga, yang dapat diukir dengan apa pun.” Jika kita mengukirnya dengan kejujuran, maka akan tumbuh menjadi pribadi yang jujur. Jika kita tanamkan nilai kesantunan, maka ia akan membawanya ke mana pun ia melangkah.

Budaya, Agama, dan Kebiasaan yang Menjadi Akar

Nilai dan kearifan lokal, seperti siri’ na lokko atau siri’  pacce—harga diri dan empati—jadi dasar dalam mendidik anak. Anak-anak diajarkan untuk tidak gampang menyerah, tidak memalukan keluarga, dan peduli dengan perasaan orang lain.

Di rumah, mereka belajar mengaji. Di halaman, mereka bermain sambil diawasi nenek dan tetangga. Semua jadi bagian dari proses pembentukan karakter. Tapi kini, ketika ruang anak lebih banyak dipegang oleh gawai, media sosial, dan lingkungan yang sulit dikendalikan, maka peran orang tua dan komunitas justru jadi makin penting.

Lingkungan: Tanah Subur atau Tanah Gersang?

Ada pepatah Afrika yang bilang, “It takes a village to raise a child.” Mendidik anak butuh dukungan banyak pihak. Sekolah, rumah ibadah, lingkungan sekitar, bahkan media—semuanya ikut berperan dalam membentuk jiwa anak.

Kalau lingkungan penuh kekerasan, bohong jadi biasa, dan orang dewasa tak lagi peduli, maka jangan heran kalau anak-anak tumbuh tanpa arah. Tapi kalau lingkungan itu rukun, saling mengingatkan, dan terbuka untuk diskusi, maka nilai-nilai baik akan lebih mudah tumbuh.

Menjadi Wakeq: Jangan Cuma Wariskan Harta, Tapi Wariskan Arah

Menjadi wakeq—rumpun bambu—bukan hanya soal membesarkan anak secara fisik, tapi juga membentuk mereka secara batin. Kita bisa saja wariskan rumah, tanah, atau kendaraan. Tapi semua itu tak berarti jika anak tak tahu arah, tak punya nilai, tak kenal akar.

Kita perlu wariskan karakter: kejujuran, keberanian, kebaikan. Wariskan nilai-nilai budaya dan ajaran agama, bukan dalam bentuk hafalan, tapi dalam tindakan sehari-hari.

Sebagaimana kata Kahlil Gibran, “Anakmu bukan anakmu… Mereka datang melalui engkau, tapi bukan dari engkau.” Kita hanya perantara. Maka jadilah perantara yang baik. Jadilah tanah yang subur, bukan tanah yang keras.

Anak yang Tumbuh, Kita yang Dipantulkan

Pada akhirnya, anak-anak adalah cermin. Apa yang kita tanam hari ini, akan dipantulkan kembali lewat sikap mereka besok. Kalau kita tanam cinta, mereka tumbuh penuh kasih. Kalau kita tanam benci, mereka tumbuh curiga pada dunia.

Dan kalau bemme tamai di wakeqna, maka mari kita jadi wakeq yang kuat, teduh, dan penuh harapan. Karena sejatinya, mendidik anak adalah ‘proyeksi masa depan’. Apa yang kita lakukan hari ini, adalah warisan yang akan hidup jauh setelah kita tiada.
Wallahu A’lamu Bissawaab.

-Moel’S@13042025-