Balai Pemajuan Kebudayaan Dukung “Parepare Makkita”

oleh
oleh

MANDARNESIA.COM, Parepare — Semangat memajukan budaya berbasis literasi lokal, Balai Pemajuan Kebudayaan Wilayah XIX menjadi garda depan dalam mendukung kegiatan inovatif yang digagas para pelaku budaya di daerah. Salah satunya adalah inisiatif “Parepare Makkita: Literasi dan Seni” yang digelar pada 26–27 Juli 2025 di Balai Seni IAIN Parepare. Kegiatan ini diprakarsai oleh Suhartina, dosen IAIN Parepare sekaligus Kepala Pusat Publikasi dan Penerbitan.

Program ini terselenggara atas dukungan pendanaan dari Program Bantuan Pemerintah Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan yang dikelola oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Fasilitasi ini menjadi bentuk konkret kehadiran negara dalam mendorong pelestarian budaya melalui penguatan literasi berbasis lokalitas.

Sebanyak 35 peserta yang terdiri atas penulis muda, guru, mahasiswa, dan pegiat literasi terlibat dalam kegiatan ini setelah karya cerita lokal mereka lolos proses kurasi. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang peningkatan kemampuan menulis, tetapi juga medan pelestarian nilai, bahasa, dan cerita rakyat setempat.

Empat narasumber utama hadir memperkaya diskusi dan inspirasi peserta: Mustadirham, S.Pd., M.Pd. (Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Parepare),Ilham Mustamin, S.Pd. (Pegiat Literasi), S. Gegge Mappangewa (Ketua BPP Forum Lingkar Pena), dan Fitriani (Guru Bahasa Bugis dan Pegiat Literasi Budaya).

Mereka menekankan pentingnya menulis sebagai bentuk perlawanan terhadap hilangnya memori budaya.

Dalam sambutannya, Suhartina menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada Balai Pemajuan Kebudayaan Wilayah XIX. “Kami sangat berterima kasih atas pendanaan dan dukungan yang diberikan melalui Program Bantuan Pemerintah Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan. Inisiatif seperti ini bisa terwujud karena adanya komitmen negara untuk hadir bersama para pelaku budaya di daerah,” ungkapnya.

Mustadirham memuji Parepare Makkita sebagai ruang sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat. “Ekosistem literasi seperti ini harus terus didorong. Kami dari Dinas siap bekerja sama untuk keberlanjutan program-program sejenis,” ujarnya.

Senada, Ilham Mustamin menyebut bahwa kegiatan seperti ini adalah bentuk perlawanan terhadap kepunahan budaya. “Menulis budaya berarti menjaga napas identitas,” katanya.

Fitriani menegaskan peran bahasa lokal sebagai benteng terakhir kebudayaan. “Saat anak-anak menulis dalam bahasa ibu, mereka tidak hanya belajar menulis, tapi juga sedang merawat akar dan jati diri,” jelasnya.

Muhammad Hasim, dari tim Monitoring dan Evaluasi Balai Pemajuan Kebudayaan Wilayah XIX yang hadir pada kegiatan tersebut menilai bahwa kegiatan ini layak menjadi rujukan nasional. “Kegiatan ini berhasil menyatukan aspek edukatif, partisipatif, dan berbasis komunitas. Ini model fasilitasi budaya yang berhasil menjangkau langsung masyarakat,” tuturnya.

Sebagai luaran, karya-karya peserta akan diterbitkan oleh IPN Press dan direncanakan diluncurkan secara resmi pada 8 September 2025.

Melalui pendekatan kolaboratif dan dukungan negara, Parepare Makkita membuktikan bahwa pemajuan kebudayaan bisa dilakukan secara inklusif, dimulai dari ruang sederhana, tetapi berdaya sentuh besar terhadap masyarakat. (Rls/WM)