Oleh: Adi Arwan Alimin
BUTTU CIPING. Area ini berada di belakang kantor lama Camat Tinambung. Tak sampai 500 meter untuk menjangkaunya dari trans Sulawesi. Dengan cakupan kurang lebih lima hektaran, sebuah rumah besar (boyang kayyang) berdiri di sana. Di sinilah Taman Budaya Sulawesi Barat kini menjura ke langit.
Senin, 13 November kemarin, ratusan orang datang ke sana sebagian besar diantaranya peserta sarasehan “Mengenang Husni Djamaluddin Sang Panglima Puisi dari Tanah Malaqbiq”. 15 menit sebelum acara dimulai, saya telah sampai. Ini kali kesekian menjejak rumah besar yang ditopang tiang-tiang dari batang pohon kelapa.
Acara ini hendak membincang atau bertukar pikiran mengenai kiprah Husni Djamaluddin semasa hidupnya. Bila memaknai makna sarasehan luas tentu agenda ini ingin mendengarkan pendapat seseorang yang lebih mengenai tokoh utama diskusi. Samuh ini berhasrat merebut sebagian pengalaman dari warisan Husni Djamaluddin.
Panitia menghadirkan Dr. Rahmat Hasanuddin, Dr. Yuyun Yundini, putri Husni Djamaluddin, dan H. Syahrir Hamdani salah satu sosok yang amat dekat dengan Husni, khususnya di fase perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Yuyun merupakan anak biologis Husni, sedang Syahrir diantara anak-anak ideologis Husni.
“Saya dahulu malu-malu menunjukkan karya pada Ayah. Takut jika tidak dinilai bagus, namun kemudian saya lebih banyak menerima bimbingannya langsung dalam hal menulis puisi, atau tema lainnya. Beliau membimbing dalam hal bagaimana menemukan dan memilih diksi yang lebih pas untuk konsep tertentu,” ujar Dr. Yuyun Ahad malam di Villa Bogor, Majene. Bersama seniman Muhammad Ishaq, kami bertiga juri untuk lomba cipta puisi Next Husni Djamaluddin 2023.
Yuyun mengakui, merasa terlambat untuk mendulang lebih banyak ilmu dari sang ayah. “Hingga hari ini saya banyak mendengarkan dan menyimak dari orang-orang dekatnya, bagaimana ayah kami dalam proses kreatifnya. Mungkin saya telah menyelesaikan pendidikan doktoral, tetapi bacaan bapak itu masih lebih luas.”
Husni tidak hanya seorang sastrawan besar dari Mandar, tetapi dia juga dikenal sebagai wartawan senior di Makassar, pendiri Dewan Kesenian Makassar (DKM) bersama Rahman Arge, mantan anggota DPRD Sulawesi Selatan di masa orde baru, dan seorang budayawan yang esai-esai kritisnya selalu ditunggu pembaca Harian Fajar Makassar.
Lalu bagaimana kisah Syahrir Hamdani dengan tokoh ini. Syahrir pun mulai mengenal saat duduk di kampus Unhas. Sebagai mahasiswa yang aktif dalam dunia pergerakan kampus, suatu hari Syahrir hadir dalam acara dialog di jalan Pettarani Makassar, moderator hari itu Husni Djamaluddin.
Rasa kagum Syahrir tumbuh saat menyimak Husni memandu pertemuan yang sejatinya pengkaderan mahasiswa dari berbagai kampus. Narasumber momentum itu Umar Kayam, seorang Guru Besar, budayawan, dan penulis novel Para Priyayi.
“Awalnya saya tidak tahu kalau pak Husni Djamaluddin orang Mandar, tetapi saya langsung kagum pada moderator acara itu. Kami begitu intens berkomunikasi dalam masa perjuangan Sulbar, bahkan kadang-kadang saya juga heran mengenai sikap beliau yang sangat egaliter. Saya lalu menyadarinya, itu sebagai metode mendidik atau mengajari saya,” sebut Syahrir yang pernah menjadi juru lobi perjuangan Sulbar di Senayan, Jakarta.
Menurut Syahrir, tanpa persetujuan Husni, dia tidak mungkin diberi amanah sebagai juru lobi dalam masa perjuangan serba sulit itu. Yang menurut Hamzah Ismail Camat Tinambung saat ini, penunjukan Syahrir sebagai juru lobi cukup membuatnya tertekan karena banyak faktor.
“Saya tahu sekali, pak Syahrir sangat tertekan saat itu, antara lain karena tidak ada kepastian dukungan finansial, sementara orang disuruh ke Jakarta. Tapi kita dorong terus untuk pergi,” kata mantan Pemred Mandar Pos ini di Buttu Ciping, Senin siang kemarin.
Syahrir kini duduk sebagai wakil rakyat di DPRD Provinsi Sulbar. “Pak Husni itu seseorang yang sangat konsisten, ‘Tongang loa i’. Sehingga semua orang mendengarnya, di kalangan pejuang Sulbar semua pihak mematuhinya.”
Husni Djamaluddin memang tidak mungkin dapat digantikan. Dia telah dilahirkan sebagai manusia yang menurut Dr. Rahmat Hasanuddin via Zoom, sebagai kakak senior yang paripurna. Dalam wajah sembab Rahmat Hasanuddin menuturkan, bagaimana Husni Djamaluddin mampu menginisiasi dan memimpin Forum Sipamandar yang merupakan induk dari gagasan besar ber-Sulawesi Barat.
“Dia mampu mengonsolidasi semua kelompok untuk membentuk forum komunikasi Sipamandar, sehingga semua elemen dari Polewali Mamasa hingga Mamuju di Makassar saat itu dapat menyatu.”
Apa yang hendak dipetik dari sarasehan ini? Tentu saja mengenai pewarisan sejarah bagaimana peran penting Husni Djamaluddin dalam perjuangan politik dalam pembentukan Provinsi Sulbar, agar generasi muda tidak hanya mengenalnya sebagai penyair, atau sastrawan yang dijuluki sebagai Panglima Puisi Indonesia.
“Saya bertanya ke ayah, mengapa Sulbar ini harus diperjuangan sedang saat itu kami tahu bahwa sumber daya manusia masih sangat rendah. Tetapi ayah menjawab, agar orang-orang di Mandar dapat mengangkat derajat hidupnya, martabatnya, dan menunjukkan kemampuan untuk mengelola daerahnya secara malaqbiq,” terang Yuyun yang juga dikenal sebagai duta kebudayaan Mandar hingga ke Timur Tengah.
Di depan peserta sarasehan yang sebagain besar pelajar dari Polewali Mandar dan Majene, Yuyun juga terus memberikan motivasi. Dia menekankan tradisi, dan budaya membaca harus terus ditanamkan pada anak-anak di Sulawesi Barat. Husni disebutnya, memiliki amat banyak buku atau referensi bila dibanding apa yang dimiliki Yuyun.
“Saya pernah mengajar saat belajar di Jepang, apa yang dapat dibandingkan dengan kita adalah mengenai etos dan filosofi pembelajaran yang berbeda,” imbuh dosen di kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini.
Output dari Sarasehan yang diselenggarakan UPTD Taman Budaya Sulawesi Barat bakal ditindaklanjuti dalam program lain berkaitan pengembangan bakat dan potensi anak-anak muda di Sulawesi Barat. Antara lain melalui mentoring penyair-penyair muda, dan dukungan melalui workhsop yang relevan.
Siapa Husni Djamaluddin berikutnya, kita tunggu bersama… (*)