Ayah, Aku Merindumu

Cerpen oleh: Saputri, Mahasiswa Unasman

Namaku Putri, anak ke-empat dari empat bersaudara lebih tepatnya,  aku adalah anak paling bungsu. Hm.. anak bungsu, sebagian orang menganggap anak bungsu merupakan anak yang paling manja. Dan memang benar aku adalah salah satu dari sekian banyak anak bungsu yang sangat manja pada ayah, ibu, dan ketiga kakakku, semuanya memanjakanku mungkin karena aku satu-satunya anak perempuan di rumah. Aku berasal dari Mamasa tepatnya di sebuah kampung kecil yang biasa disebut Tanete. Saat ini aku sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Asyariah Mandar (UNASMAN) yang ada di Polewali Mandar. Aku bingung tidak tahu harus memulai darimana untuk menulis cerita ini, lebih tepatnya curahan hatiku. Sebenarnya, sudah sejak lama aku ingin menulis tentang kisahku, kisah tentang apa yang dari dulu kurasakan dan aku pendam sendiri.

Malam yang dingin menyelimuti tubuhku, di luar sana terdengar suara hujan. Kubuka jendela kamarku, hanya terlihat bulir-bulir hujan yang  jatuh membasahi jalan. Kutatap langit yang terlihat gelap tak ada satu pun bintang yang menerangi, terlihat sunyi membuat pikiranku melayang dan kembali mengingat masa-masa dulu. Masa  ketika aku masih kecil, dimana saat itu aku hanyalah seorang gadis polos yang sangat  manja dan kadang  menangis hanya karena mempermasalahkan hal sepele, bebas bermain dan tertawa lepas, aku dikelilingi orang-rang yang sangat menyayangiku. Sungguh aku sangat merindukan masa-masa itu. Dimana  aku masih bisa merasakan lembut dan  hangatnya pelukan darimu yang mampu menenangkanku, dulu kau masih mampu bangun dan berdiri untuk menggenggam tanganku, kini semua tidak bisa lagi aku rasakan semenjak kau tinggalkan bayanganmu yang dulu selalu ada untukku, kini mulai hilang, suaramu kini mulai senyap, tanganmu kini tidak bisa kugenggam lagi, tubuhmu yang tidak bisa lagi aku peluk, wajahmu yang tidak bisa lagi aku pandang, matamu yang tidak bisa lagi aku tatap, bibirmu yang tidak bisa aku lihat saat kau menyebut namaku, suara ketawamu yang sudah lama tidak terdengar ditelingaku.

Rindu  aku rindu, Ayah.

Ayah, nama yang empat tahun belakangan ini sudah tak lagi aku panggil. Aku sangat merindukannya. Ayahku adalah sosok yang terkenal sangat baik dan murah hati. Dia seorang yang sangat kuat dan pekerja keras, sampai-sampai dia tidak mempedulikan kesehatannya sendiri demi untuk memenuhi kebutuhan dan menyekolahkan kami. Aku selalu bangga memiliki ayah seperti dia. Sosok lelaki paling baik di dalam hidupku. Katanya ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuan nya dan memang benar aku mengakuinya.Ayahku adalah cinta pertamaku.

Kembali kupandangi langit yang semakin gelap malam ini,  kembali aku teringat malam itu.

24 Desember 2015, di saat aku dan keluargaku tengah siap-siap untuk mengikuti Ibadah Perlengkapan Natal di Gereja, kami dikejutkan dengan keadaan ayah yang mendadak sakit yang memang hari-hari sebelumnya sudah dia rasakan, tapi dia selalu menahannya  karena dia tidak mau membuat kami khawatir. Malam itu ayah tidak mengikuti ibadah di gereja dan istirahat di rumah. Malam selanjutnya kembali ayah tidak mengikuti ibadah. Sampai pada tanggal 31 Desember 2015, Puji Tuhan pada saat itu ayah sudah kembali mengikuti ibadah di gereja dan masih sempat memberikan sambutan di acara pergantian tahun pada saat itu. Meskipun kembali harus cepat pulang karena ayah harus istirahat dan tidak boleh terlalu capek.

Hari-hari berlalu dan saat itu sudah memasuki tahun 2016, berbagai pengobatan pun sudah dilakukan dan kesehatan ayah perlahan sudah mulai membaik. Di saat kesehatan ayah sudah mulai membaik, keluargaku kembali dikejutkan dengan meninggalnya kakek kami (ayah dari ibuku) yang secara tiba-tiba dan membuat semua keluarga shok. Tapi kami percaya di balik duka yang kami alami  itu Tuhan punya rencana yang indah bagi keluarga.

Di saat duka karena kehilangan kakek belum hilang, kami kembali dikejutkan dengan keadaan ayah yang kembali drop. Berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan oleh keluarga demi kesembuhan ayah pun sudah dilakukan.Dan Puji Tuhan itu sedikit membantu. Dan pada bulan Februari, keluarga pun memutuskan untuk membawa ayah ke  rumah sakit yang baru dibuka di Mamasa yaitu RSUD Umum Kondosapata  untuk dilakukan pengobatan yang lebih, sampai di rumah sakit tersebut ayah harus kembali dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar yaitu RSUD Polewali Mandar karena rumah sakit sebelumnya yang baru dibuka  masih kekurangan alat-alat kesehatan. Di rumah sakit, ayah pun di rawat selama beberapa hari.

Sesampainya di rumah sakit yang lebih besar, ayah pun segera ditangani oleh tenaga medis. Kutatap wajahnya yang tengah berbaring tidur di ranjang rumah sakit.  Badannya yang dulu berisi, “kasian ayah” kataku dalam hati sambil menahan  air mataku, aku tidak mau ayah melihatku menangis, aku pun pamit dan berlari ke toilet yang ada di ruangan, ku tumpahkan seluruh air mataku yang sedari tadi aku tahan karena tidak sanggup melihat keadaan ayah. Ayah yang dulu kuat kini terbaring lemah, badan nya yang dulu kuat dan kekar  kini mulai kurus. Aku tidak tahu sampai kapan ayah harus begini, aku hanya bisa mendoakan kesembuhan ayah semoga Tuhan menganugrahkan mukjizat.

Selama beberapa hari di rumah sakit aku selalu menemani ayah. Ayah tidak pernah mengeluh sedikit pun,  dia selalu pandai menyembunyikan apa yang dia rasakan. Setelah beberapa hari di rumah sakit keadaan ayah pun jadi sedikit membaik, kami pun memutuskan untuk pulang atas izin dari dokter dengan catatan ayah harus istirahat total sampai keadaannya membaik. Sampai di rumah di Mamasa keluarga terus berupaya mengusahakan pengobatan buat ayah. Keluarga dan sanak saudara selalu berdatangan di rumah untuk menjenguk dan mendoakan ayah, para hamba Tuhan dan teman-teman nya tiap hari selalu datang untuk mendoakan ayah. Ada juga keluarga yang tinggal dan menginap di rumah. Setiap malam aku selalu tidur di dekat ayah. Dan setiap tengah malam aku selalu terbangun karena mendengar suara ayah berbicara kepada keluarga bisa dikatakan itu adalah semacam wasiat, yang pada saat itu aku belum mengerti. Aku terlalu takut untuk menanyakan apa arti dari kata-kata ayah yang setiap tengah malam selalu aku dengar. Yang kulakukan hanya berdoa di dalam hati semoga ayah cepat sembuh dan bisa kembali seperti dulu.

Setelah beberapa hari di rumah dan keadaan ayah pun sedikit membaik. Orang tua ayah (kakek dan nenek) ingin membawa ayah kerumahnya. Kami pun bergegas dan segera berangkat ke rumah orang tua ayah. Di sana ayah pun kembali menjalani pengobatan, dimulai dari pengobatan tradisional sampai harus kembali di infus karena keadaannya yang lemah.

Malam itu, aku tidur disamping ayah. Saat keadaan sudah hening karena semua orang sudah tidur, aku terbangun karena mendengar suara ibu membangunkan ayah yang tengah mengigau mungkin karena bermimpi sesuatu. Ayah pun terbangun dan menceritakan mimpinya,  katanya “ayah mimpi sedang berada di ujung tebing jurang dan dan hampir jatuh ke jurang itu ayah pun berteriak” dan kemudian sadar saat ibu membangunkannya. Mendengar cerita ayah, perasaanku mulai takut takut dan cemas, apakah pertanda dari mimpi ayah? kata orang-orang mimpi hanyalah bunga-bunga tidur dan aku pun berharap demikian, dan hanya bisa berdoa dalam hati semoga ayah baik-baik saja.

Entah kenapa, mungkin karena saat itu aku masih terlalu kekanak-kanakan, sejak ayah sakit aku tidak tahu kenapa aku menjadi takut berada di dekat ayah aku tidak punya alasan yang jelas, hanya takut. Saat itu perasaanku sangat sensitif sekali dan gampang menangis.

Pagi setelahnya, aku menemani  kedua sepupu  dan tanteku pergi  ke rumah. Sampai di sana mereka membersihkan semua pakaian ayah. Aku tidak mengerti kenapa mereka mebersihkan semua pakaian ayah dan menggantungnya. Aku menangis tidak kuat melihat semua pakaian ayah, aku jadi merindukan ayah padahal belum lama aku tidak melihatnya.

1 Maret 2016, hari itu aku terbangun pagi-pagi sekali karena dibangunkan oleh kakakku. Aku marah dan langsung menangis. Perasaanku sangat sensitif dan gampang sekali menangis. Siang hari aku duduk di dekat ayah yang tengah berbaring, kulihat ia dengan keadaannya yang semakin memburuk. Sedih sekali dan hatiku sakit melihat ayah. Ayah memanggil namaku, aku tidak menjawab hanya bisa menangis. Aku tidak kuat.

Tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara ibu. Padahal baru sebentar aku tidur, aku langsung bangun dan melihat wajah ayah sudah  ditutup dengan sarung. Aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. “Tuhan secepat itukah Engkau mengambil ayahku ?”. Aku tidak bisa membayang kan bagaimana hidupku ke depan tanpa ayah. Ayahku sudah pergi untuk selamanya.

5 Maret 2016, hari itu tepat ulang tahunku. Tidak ada pesta, tidak ada kue, apa lagi tiup lilin, “sungguh ulang tahun paling terburuk”  kataku di hari itu. Rasanya sudah tidak sanggup hidup di dunia ini. Kebahagiaanku sudah hilang, aku kehilangan pengharapan.

Hari-hariku tanpa ayah rasanya hampa. Aku menjadi pendiam, tidak mau bergaul atau pun keluar rumah. Satu bulan lebih aku tidak keluar rumah dan tidak mau pergi ke sekolah. Aku tidak suka keributan apalagi harus melihat orang banyak di luar rumah. Rasanya aku ingin mati saja agar bisa bertemu ayah di sorga. Setiap tengah malam aku selalu terbangun karena merindukan ayah. Hanya bisa menagis dan terdiam.

Beberapa bulan setelah ayah pergi, aku memutuskan untuk kembali sekolah dan mengikuti pelajaran hingga aku lulus SMP dan SMA, menjalani hidupku seperti biasanya meskipun tanpa ayah. Sekarang aku sudah memasuki bangku kuliah. Rasanya masih belum bisa kupercaya kalau ayahku telah tiada. Andai ayah masih ada sekarang pasti dia sangat senang melihat aku yang sekarang. Putri kecilnya yang dulu sangat manja dan selalu mengekor di belakang ayah, kini mulai beranjak dewasa.

Di balik ketegaran yang selalu aku tunjukkan, aku sebenarnya sangat rapuh. Di depan semua orang aku selalu menunjukkan diriku yang kuat, diriku yang tak pernah sedikit pun mengeluh dengan keadaan. Namun sekali lagi, aku tetaplah aku. Aku tetaplah anak kecil lemah yang butuh tangan seorang ayah untuk membantuku melakukan sesuatu. Aku hanyalah anak kecil yang membutuhkan kaki seorang ayah untuk membantuku melangkah.

Ayah, aku rindu

Tuhan tau bahwa aku begitu sayang padamu,ayah. Namun, aku menyadari bahwa Tuhan lebih menyayangimu, ayah sudah tidak merasakan sakit lagi dan sudah tersebas dari dunia yang fana ini. Hingga Tuhan memanggilmu secepat ini. Hanya doa yang menjadi penghubung antara kita. Menatap mu lewat bayangan kenangan yang selalu menghiasi pikiranku. Aku hanya bisa menjaga diri sendiri agar ayah tak merasa sedih melihat ku yang kian rapuh di sini.Aku sayang ayah.