ETNIS minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, menjadi incaran kekerasan aparat keamanan sejak akhir Agustus lalu. Pemerintah Myanmar menyebut operasi militer yang diperkirakan telah mengorbankan 1.000 jiwa itu dianggap respon atas serangan bersenjata Rohingya pada 25 Agustus.
Kelompok itu disebut Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan atau ARSA. Mereka dilaporkan menyerang 25 sampai 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer. Tentara pun melakukan serangan balasan yang disertai pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia. Kehadiran ARSA kini memantik opini berbeda setelah melihat kemampuan mereka melawan hegemoni militer yang mengontrol negara itu.
ARSA sebelumnya menamakan diri mereka sebagai Harakah al-Yaqin atau Gerakan Keimanan. Dipimpin oleh Ata Ullah, seorang Rohingya yang lahir di Karachi, Pakistan dan sempat tinggal di Arab Saudi.
Ata Ullah dikenal vokal mengecam penindasan yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Sumber lainnya menyebut, nama pemimpin ARSA yakni Abu Ammar Jununi. ARSA dilaporkan didirikan sekitar 2012 lalu, tepatnya setelah kerusuhan anti-Muslim yang memakan setidaknya 200 jiwa melanda Rakhine.
Laporan International Crisis Group menyebut kelompok ini didukung dan diawasi oleh sebuah komite beranggota puluhan pemimpin senior di Madinah, Arab Saudi. Para petinggi ARSA merupakan imigran atau keturunan Rohingya. Mereka semua juga dikabarkan mempunyai jaringan di Bangladesh, Pakistan, hingga India.
Pemerintahan Aung San Suu Kyi menuding ARSA berafiliasi dengan kelompok militan Taliban Pakistan. Myanmar kini menganggap ARSA sebagai kelompok teroris. Kelompok yang dianggap terorganisir dengan baik ini bertujuan untuk mendesak pemerintah Myanmar mengatasi perpecahan di Rakhine.
Arsa selalu menyerukan penumpasan diskriminasi berkepanjangan dan kekerasan yang selama ini menimpa etnis minoritas di Rakhine maupun Myanmar secara keseluruhan. Mereka juga mendesak pemerintah Myanmar memenuhi hak dasar etnis minoritas seperti status kewarganegaraan bagi etnis Rohingya yang tak pernah diakui.
Di sisi lain otoritas Myanmar menganggap ARSA sebagai kelompok ekstremis yang ingin menerapkan hukum Islam di Rakhine. Diberitakan AFP, tentara Myanmar bahkan menuding ARSA kerap membunuh etnis Buddha dan Hindu di Rakhine dalam beberapa waktu terakhir.
Kekuatan ARSA
Hingga kini jumlah pasukan ARSA belum diketahui secara pasti. Meski disebut mendapat sokongan logistik dan dana dari petingginya di luar negeri, persenjataan kelompok tersebut diyakini terbilang lemah. Sejumlah pengamat menganggap ARSA hanya memiliki ratusan pasukan yang terlatih dan sebagian besar dari mereka pun dipercaya telah gugur dalam bentrokan akhir Agustus lalu.
Namun, sejumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh mengaku sebagian dari pemudanya di Rakhine telah bergabung dengan ARSA sejak bentrokan terakhir berlangsung, walaupun hanya berbekal pisau dan tongkat. Analis menganggap ARSA bukan menjadi ancaman utama Myanmar, kelompok itu disebut tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengalahkan pasukan militer.
Tetapi sejumlah pihak khawatir aktivitas dan pengaruh ARSA di Myanmar akan semakin memperdalam krisis kemanusian di Rakhine. Kelompok bersenjata ini ditakutkan akan semakin membesar seiring dengan perekrutan anggota yang terus dilakukan.
ARSA atau Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) kini mengumumkan gencatan senjata unilateral selama sebulan dalam perang melawan tentara Myanmar. Tujuannya, untuk memberikan kesempatan kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan menolong warga Rohingya di Rakhine.
Gencatan senjata diumumkan ARSA pada hari Sabtu dalam sebuah pernyataan. Gencatan senjata berlaku mulai hari Minggu (10/9/2017). Dalam pernyataan, ARSA juga meminta militer Myanmar untuk sementara meletakkan senjatanya. Tetapi permintaan itu ditolak.
”ARSA sangat menganjurkan semua aktor kemanusiaan yang peduli untuk melanjutkan bantuan kemanusiaan mereka kepada semua korban krisis kemanusiaan, terlepas dari latar belakang etnis atau agama selama periode gencatan senjata,” kata kelompok gerilyawan tersebut, seperti dilansir dari Al Jazeera.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah memperingatkan risiko terjadinya pembersihan etnis jika kekerasan berlanjut di Rakhine. Guterres meminta otoritas negara tersebut untuk mengakhiri kekerasan terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Dalam sebuah video baru yang diposkan di media sosial menunjukkan pemimpin kelompok tersebut Abu Ammar Jununi diapit oleh dua orang bertopeng dengan senapan serbu, mengatakan serangan baru-baru ini sebagai tanggapan atas kekerasan militer. Pihaknya meminta kelompok bantuan internasional segera membantu.
Perlakuan buruk terhadap sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya di sebagian besar negara Buddha Myanmar telah muncul sebagai tantangan terbesar bagi pemimpin nasional Aung San Suu Kyi. Peraih Nobel Perdamaian itu dituduh tidak dapat bertindak adil oleh beberapa kritikus Barat, karena tidak berbicara atas nama minoritas yang telah lama dianiaya, dan malah mempertahankan penyisiran tentaranya. (*)
Diolah dari berbagai sumber