Laporan : VOA Indonesia
Para ilmuwan menduga Covid-19 berasal dari kelelawar, yang menjadi sumber berbagai macam virus corona. Meski terjadi pandemi, perdagangan global produk kelelawar terus berlanjut, termasuk tahi kelelawar yang sangat mahal, yang disebut guano.
Tahi Kelelawar umumnya digunakan di seluruh dunia sebagai pupuk, tetapi juga digunakan sebagai obat. Ini bisa ditemukan di situs belanja online terbesar AS, Amazon. Di Amazon, tahi kelelawar masuk dalam kategori bahan makanan, Grocery & Gourmet Food. Menurut daftar harga, guano dijual seharga$ 2,95 oleh penjual obat tradisional China.
Dikenal sebagai Ye Ming Sha, atau Night Ling Sand, tahi kelelawar merupakan salah satu bahan paling populer dalam pengobatan tradisional China. Bahan ini digunakan untuk mengobati gangguan mata, stasis darah dan emboli.
Karena kelelawar menangkap serangga yang terbang di malam hari, tahi kelelawar secara tradisional dianggap meningkatkan penglihatan pada malam hari. Beberapa tabib merekomendasikan menempelkan tahi kelelawar langsung pada mata.
Pada 2005, pakar virus yang berkantor pusat di Wuhan, Shi Zhengli, yang sekarang dikenal sebagai “Perempuan Kelelawar” China, mengidentifikasi puluhan virus corona mirip Sindrom Pernafasan Akut Parah (Severe Acute Respiratory Syndrom/SARS) yang mematikan, yang ditemukan dalam sampel tahi kelelawar yang dikumpulkan Shi dan timnya di gua-gua.
Salah satu sampel tahi itu mengandung jenis virus yang 96 persen identik dengan virus corona yang saat ini menyebar di seluruh dunia. Baru-baru ini, enam virus corona yang paling baru ditemukan dalam sampel tahi kelelawar dari 464 kelelawar oleh tim yang dipimpin oleh ilmuwan Smithsonian, Marc Valitutto. Menurut penelitian, virus-virus ini juga termasuk dalam rumpun keluarga yang sama dengan SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19.
“Tahi kelelawar berbahaya karena mengandung virus,” kata Dr. Robert Siegel, seorang profesor di Departemen Mikrobiologi dan Imunologi di Universitas Stanford kepada VOA.
Mekanisme yang tepat di mana virus corona melompat dari kelelawar ke manusia menjadi pusat penelitian global yang intens. Para ilmuwan sebelumnya mengatakan karena virus ditemukan dalam darah dan air liur kelelawar, penularan bisa terjadi dari gigitan. Namun kelelawar biasanya tidak menggigit manusia.
“Sebagian besar kelelawar tidak menggigit, terutama jenis kelelawar yang terkait dengan wabah virus korona,” kata Siegel. Sebaliknya, manusia kebanyakan terinfeksi oleh kelelawar karena menghabiskan waktu bersama kelelawar, seperti ketika pekerja mengumpulkan tahi kelelawar dari sebuah gua atau ketika penambang menghabiskan waktu berjam-jam bernapas di ruang yang sama dengan koloni kelelawar.
“Risiko kelelawar sangat terkait dengan seberapa banyak kontak orang dengan kelelawar,” kata Siegel.
Tiga tahun lalu, Shi dipanggil untuk menyelidiki wabah virus di poros tambang dimana enam penambang menderita penyakit mirip pneumonia yang menewaskan dua di antaranya.
“Tahi kelelawar yang tertutup jamur berserakan di gua itu,” kata Shi kepada Scientific American dalam sebuah laporan yang diterbitkan bulan lalu. Ia mengatakanhanya masalah waktu sebelum para penambang itu jatuh sakit.
Laporan ilmiah lain dari Thailand pada 2013 menemukan virus corona di sekitar 40l persen dari sampel tahi kelelawar yang dikumpulkan, yang menyebabkan para peneliti merekomendasikan kepada para pekerja agar mengenakan alat perlindungan diri yang lebih baik ketika memanen tahi kelelawar di dalam gua. [my/pp]