Oleh: Wahyudi Muslimin
Assalamualaikum, bau busuk… Diksi pembuka ini adalah ungkapan dari aktivis senior Ichsan Sahibuddin yang disampaikannya melalui diskusi via telepon, Sabtu Siang, 5 Juni 2021.
Pembicaraan via gawai ini berlangsung cukup lama. Bang Iccang begitu sapaan kami kepadanya, menumpahkan kekesalannya tentang karut marutnya urusan persampahan di Polewali Mandar, ditandai ditolaknya TPA di Binuang.
Dia banyak menjelaskan terkait pengelolaan sampah, sampai pada keterlibatannya mengurusi TPA Amola beberapa tahun silam. Dia juga menyampaikan temuannya langsung di lapangan bahwa ketika angin bertiup dari arah gunung ke laut, maka saat sedang makan atau sedang menyeruput kopi di teras rumah pada dusun Passube Desa Paku Kecamatan Binuang selera bisa hilang mendadak. Bayangkan bila kita di posisi mereka?
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hj. Rahmin yang dihubungi melalui WhatsApp Sabtu (05/06) hanya membaca pesan dari mandarnesia.com namun begitu dingin membalas pesan itu. Entah mengapa? Mungkin dia tahu bahwa media ini akan menanyakan persoalan pengelolaan sampah. Padahal hanya ingin mengonfirmasi biar pemberitaanya imbang. Atau mungkin juga sedang sibuk mencari solusi tentang TPA yang sudah ditolak warga.
Seperti diketahui 5 Juni 2021 merupakan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia. Namun seperti “menggantang asap di langit”. Pasalnya di hari itu juga puluhan pemuda dan warga di Kecamatan Wonomulyo berbakti sosial mengemas sampah yang sudah luber ke badan jalan karena tidak diangkut. Kantong sampah pun disediakan Senator DPD RI asal Sulbar, Ajbar.
Berikut video yang disiarkan langsung dari Group Facebook Info Kejadian Polewali Mandar :
Senator Ajbar juga terlihat turun tangan mengemas sampah bersama warga dan pemuda di atas.
Dia menilai bahwa, Pemerintah kabupaten tidak serius mengurus hak dasar warga untuk bisa hidup sehat dan terbebas dari sampah.
“Jika sekiranya pemerintah serius mengelola TPA tentu masyarakat tidak akan menutup sepihak TPA tersebut, bahkan sampah tersebut bisa bernilai profit bagi warga sekitar,” ungkapnya kepada mandarnesia.com melalaui pesan WhatsApp.
Kata Ajbar, di Wonomulyo khususnya Jalan Padi Unggul 1 dan Padi Unggul 2 tumpukan sampah ada di mana-mana dan sudah membukit. “Karena tidak ada solusi dari pemerintah maka kami adakan bakti sosial melakukan pengepakan atau packing sampah dalam kantong-kantong besar yang disediakan.” ungkap Ajbar.
Kemudian pada postingan facebook Ustadz Zainal Abidin, terlihat membakar sampah yang hampir berdekatan Masjid Raya Wonomulyo. Sepertinya itu bentuk protes yang dilakukannya sebagai warga meskipun dia tahu bahwa membakar sampah itu tidak baik.
Berikut postingan teks dari mantan anggota DPRD Sulbar ini, Zainal Abidin :
“Maafkan saya wahai sampah, terpaksa saya membakarmu yg semestinya kamu diangkut petugas sampah…
Maafkan saya wahai petugas sampah, terpaksa saya membakarnya, sudah berapa hari dia menunggumu, tapi kamu tidak datang menjemputnya…
Maafkan saya pak lurah, pak camat dan pak bupati, saya membakar sampah yang sdh menggunung di depan rumahku, sdh lama saya dan rakyatmu menunggu solusi penanganan sampah di Wonomulyo, tapi tak kunjung ditemukan…. entah berapa lama lagi kami menunggu….
Saya tahu, membakar sampah bukan solusi…
Tapi mau apa lagi, masa saya membiarkan diriku dan orang-orang sekitarku mencium baunya sdh tidak sedap…
Mudah-mudahan ini seperti apa yg dikatakan pepatah… dari pada mengeluh ttg kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin…”
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia nomor 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga disebut pada Pasal 35 bahwa;
(1) Persyaratan TPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf c meliputi penyediaan dan pengoperasian, harus memperhatikan pemilihan lokasi, kondisi fisik, kemudahan operasi, aspek lingkungan, dan sosial.
(2) Pemilihan lokasi TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi kriteria aspek:
a. geologi, yaitu tidak berada di daerah sesar atau patahan yang masih aktif, tidak berada di zona bahaya geologi misalnya daerah gunung berapi, tidak berada di daerah karst, tidak berada di daerah berlahan gambut, dan dianjurkan berada di daerah lapisan tanah kedap air
atau lempung;
b. hidrogeologi, antara lain berupa kondisi muka air tanah yang tidak kurang dari tiga meter, kondisi kelulusan tanah tidak lebih besar dari 10-6 cm/detik, dan jarak terhadap sumber air minum lebih besar dari 100 m (seratus meter) di hilir aliran.
c. kemiringan zona, yaitu berada pada kemiringan kurang dari 20% (dua puluh per seratus).
Masih banyak lagi petunjuk yang tertuang dalam peraturan tersebut di atas, silahkan di-googling.
Karena kemana lagi harus mengadu? Aduh!