Laporan: Tim Mandarnesia.com
MALUNDA, mandarnesia.com — Pandemi Covid-19, dan gempa, dua masalah besar yang sepenuhnya belum berakhir bagi warga Dusun Samalio, Desa Mekatta, Kecamatan Malunda, Majene. Persoalan lain yang belum menemui titik terang masih membuntal, yakni abrasi. Kondisi itu mengancam permukiman warga sejak lama.
Makin hari, abrasi semakin mendekat ke permukiman warga. Situasi ini antara lain disebabkan aktivitas tambang pasir laut di pesisir pantai Samalio selama sekian tahun. Pasirnya dikeruk untuk kepentingan pembangunan rumah, hingga proyek di Kecamatan Malunda, dan Tappalang.
Siang itu, Sudarmi bersama keluarga sedang berkumpul di hunian sementara. Mereka sedang menyiapkan ketupat daun pandan untuk lauk soto sapi. Istrinya, Nurma menyebut stok dagingnya memang masih banyak, beberapa orang memberi kurban Iduladha.
Salah satu bakal calon Kepala Desa Mekatta, Nuar juga berada di tengah-tengah keluarga yang sudah mendiami Samalio puluhan tahun. Nuar baru saja selesai melaksanakan salat Jumat di masjid Nurul Yaqin Samalio.
Mesjid ini terletak persis di depan rumah Sudarmi, seberang jalan arah timur, masjid itu juga menjadi salah satu bangunan yang terancam tergerus, jika penambangan pasir laut di dusun itu tidak segera dihentikan.
Di bagian belakang masjid, ada rumah kedua adik Sudarmi, Deri dan Syamsuddin. Semenjak gempa, Syamsuddin yang rumahnya rusak akibat gempa, memilih pulang ke mertuanya di Mapilli. Sementara Deri belum lama ini tinggal di samping rumah Syamsuddin, dia membangun rumah dari material kayu pasca gempa.
Dua rumah itu akan menjadi korban pertama tersapu ombak akibat tambang di pesisir pantai Samalio, setelah menyapu makam yang hanya berjarak beberapa meter dari pantai.
Sekitar tahun 2007, pesisir pantai di Dusun Samalio Utara dan Samalio Induk membentuk lengkungan menyerupai bulan sabit. Pesisir pantai menyimpan ribuan kubik pasir. Menurut Sudarmi, pantai itu sering dijadikan arena bermain bola.
Namun sejak tambang pasir masif, pesisir pantai semakin melengkung, dan kini menyerupai huruf U. “Dulu ada sekitar 30 meter ke sana (pesisir pantai). Tapi sekarang tiga puluh meter itu sudah jadi lautan, ombak semakin dekat ke perkampungan,” kata Sudarmi yang menyimpan banyak khawatir di wajahnya.
Masalah itu sudah pernah dibahas di tingkat pemerintah desa, namun tidak menemui titik terang.
Ada puluhan rumah yang terancam. Hingga kini aktivitas penambangan terus berlanjut, bukan hanya dilakukan oleh orang-orang di desa tersebut, namun mobil-mobil truk dari luar juga sudah beberapa tahun terakhir, modar-mandir mengambil pasir di sekitar pantai Samalio.
“Kami tidak tahu harus bagaimana lagi. Pemerintah, Pak Bupati Majene Andi Syukri Tammalele semoga mendengar masalah kami, dan turun untuk melihat masalah ini,” harapannya.
Menurut Sudarmi, memang ada beberapa orang yang menggantungkan kebutuhan sehari-harinya di sana, menambang pasir, namun dampak kerusakan yang tidak sebanding akibat abrasi.
Puluhan kelapa, termasuk magrove tumbang. Kini warga desa menunggu perhatian pemerintah kabupaten, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (BSDKP) di DKP Majene, Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Laut (BPSPL) Makassar dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Provinsi Sulawesi Barat.