MAMUJU – Hasil riset dari beberapa lembaga perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa persentase perusakan kawasan hutan entah akibat pelepasan atau konvensi lahan, menjadi non kawasan hutan disebabkan oleh pemberian perizinan untuk investasi.
“Tapi 98 persen itu semua karena perizinan,” tutur Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Azmi Sirajuddin kepada Mandarnesia.com, salah satu hotel di Mamuju, Sabtu (19/8/2017).
Azmi menjelaskan, perubahan kawasan hutan dewasa ini sebenarnya lebih banyak diakibatkan karena diberikannya perizinan bukan karena dijamah masyarakat secara alami.
“Baik perizinan di sektor perizinan besar seperti sawit, pertambangan dan infrastruktur. Itukan yang banyak merubah peruntukan kawasan hutan dibanding yang diakibatkan oleh rakyat. Sekalipun ada, tapi tidak sampai dua persen malah kerusakan hutan yang disebabkan oleh rakyat,” jelasnya.
Pengalihan fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan harus betul-betul direncanakan dengan matang. Selain di alih fungsikan, juga penambahan lokasi perizinan tidak bertambah dari waktu-kewaktu.
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=””]”Perencanaanya itu harus sesuai dengan perencanaan lokal apa saja fungsi perubahan kawasan hutan, karena ada dua penurunan fungsi dan penurunan status. lebih parah lagi kalau peizinan menambah luas kawasannya. Misalnya, secara legal izin perkebunan sawit, misalnya Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit itu lima ribu hektare, tapi dia tambah-tambahmi lagi seribu menjadi enam ribu,” sebutnya.[/perfectpullquote]
Masalahnya tambah Azmi, pemerintah selalu beralasan tidak mempunyai sumber daya. Padahal, tanggung jawab sebagai pemangku pengelola hutan ada sama pemerintah kalau perusahaan melanggar harus ditegakkan hukum.
“Masalahnya hari ini adalah penegakan hukum di sektor lingkungan termasuk kehutanan jarang digunakan pemerintah. Sehingga, banyak pelanggaran justru dibiarkan, itu yang terjadi sebenarnya,” pungkasnya.
#AyubKalapadang/BusriadiBustamin