100 Hari Pemerintahan Polewali Mandar: Menilai Pencapaian atau Sekadar Seremonial?

Oleh: Tim Riset Eksternal Departemen Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan IKAJO Polewali Mandar

SETIAP pergantian kepemimpinan daerah selalu membawa harapan besar dari masyarakat. Momen 100 hari pertama pemerintahan kerap kali dianggap sebagai tolok ukur awal untuk menilai komitmen dan kapabilitas pemerintah baru. Seakan menjadi syarat wajib, momen ini dipenuhi dengan pencapaian-pencapaian yang dipublikasikan, mulai dari pembangunan fisik, peluncuran program sosial, hingga realisasi anggaran. Namun, dalam sorotan yang terkadang berlebihan terhadap pencapaian administratif ini, kita perlu bertanya: Apakah evaluasi 100 hari benar-benar mencerminkan perubahan yang dibutuhkan masyarakat, atau justru terjebak dalam ritual formalitas yang hanya mengedepankan angka dan indikator yang mudah dilihat?

Pertanyaan ini semakin relevan, terutama ketika kita melihat fenomena serupa terjadi di berbagai daerah, termasuk di Polewali Mandar. Pemerintah daerah berlomba mengejar target-target fisik dalam waktu yang sangat singkat. Program-program yang diluncurkan, jalan yang dibangun, dan bantuan sosial yang segera dicairkan sering kali dijadikan sebagai indikator utama keberhasilan pemerintahan. Padahal, ukuran-ukuran ini, meskipun penting, belum tentu mencerminkan perbaikan yang substansial dan mendalam terhadap kualitas hidup masyarakat.

Zarni Adia Purna (2023) mengingatkan kita bahwa ada risiko besar dalam menyederhanakan evaluasi dengan hanya mengandalkan daftar pencapaian administratif. Ketika kita terlalu fokus pada indikator-indikator tersebut, kita sering kali gagal melihat apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai contoh, meskipun sebuah proyek infrastruktur selesai tepat waktu, apakah ia benar-benar menyelesaikan masalah transportasi atau aksesibilitas yang lebih luas bagi warga? Atau apakah bantuan sosial yang dicairkan sesegera mungkin mampu menanggulangi masalah ketimpangan sosial atau mengatasi masalah kemiskinan secara mendalam? Evaluasi yang hanya fokus pada jumlah pencapaian ini bisa saja menjauhkan kita dari memahami dampak jangka panjang dan efektivitas kebijakan.

Lebih jauh lagi, ada tekanan besar bagi pemerintah untuk menunjukkan hasil yang cepat. Dalam konteks ini, Youngmin Oh (2023) mengidentifikasi sebuah fenomena yang dikenal sebagai evaluation overload, yaitu sebuah kondisi di mana beban untuk memenuhi target dalam waktu singkat justru memicu kebijakan yang kurang terencana dan kurang berdampak. Sebagai contoh, proyek-proyek fisik yang diburu penyelesaiannya dalam 100 hari bisa jadi tampak spektakuler di atas kertas, namun jika tidak disertai dengan kajian mendalam tentang kebutuhan daerah atau potensi jangka panjangnya, proyek tersebut bisa berujung pada pemborosan anggaran atau, yang lebih berbahaya, hasil yang tidak optimal. Pemerintah bisa jadi membangun jalan yang megah, tetapi tanpa merencanakan sistem transportasi yang menyeluruh, jalan tersebut hanya akan menjadi simbolisasi kesuksesan tanpa memberi manfaat signifikan bagi masyarakat.

Dari sini, jelas bahwa pendekatan evaluasi 100 hari seharusnya tidak hanya menilai hasil akhir yang terlihat, tetapi juga memfokuskan perhatian pada proses yang ditempuh dalam mencapai hasil tersebut. Dalam hal ini, Martin Král (2021) menawarkan perspektif yang lebih manusiawi dengan mengusulkan agar 100 hari pertama digunakan sebagai fase pembelajaran dan penyesuaian. Pemerintah yang baru harus diberikan ruang untuk memahami kompleksitas masalah yang ada di daerahnya. Mereka perlu merancang kebijakan yang lebih terarah dan menyeluruh, sambil tetap menjaga transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks Polewali Mandar, misalnya, indikator keberhasilan tidak hanya harus diukur dengan pembangunan fisik semata. Pemerintah juga perlu menilai sejauh mana mereka berhasil membuka ruang dialog dengan masyarakat, serta kemampuan mereka dalam merancang perencanaan strategis yang lebih inklusif dan partisipatif.

Pendekatan evaluasi yang demikian ini sangat penting, karena partisipasi publik menjadi kunci utama dalam menilai kinerja pemerintah. Keterlibatan masyarakat dalam proses evaluasi bukan hanya meningkatkan kepuasan warga, tetapi juga memperkuat legitimasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Hal ini sudah terbukti dalam berbagai studi, seperti yang disampaikan oleh Xing Zhang dkk. (2021), yang menunjukkan bahwa partisipasi publik dapat memperkaya data evaluasi dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berlandaskan pada kebutuhan riil masyarakat. Di Polewali Mandar, misalnya, mekanisme seperti forum warga atau survei partisipatif bisa menjadi sarana yang efektif untuk menyerap aspirasi langsung dari masyarakat. Dengan cara ini, evaluasi pemerintahan tidak hanya menjadi urusan internal birokrasi, tetapi juga mencerminkan suara dan kebutuhan rakyat. Ini juga memperkuat legitimasi pemerintahan dengan menciptakan rasa kepemilikan dan kepercayaan di kalangan warga.

Selain itu, komunikasi yang transparan dan terbuka antara pemerintah dan masyarakat sangat penting. Dalam era informasi yang serba cepat ini, ketidakjelasan informasi atau misinformasi dapat dengan mudah menyebar dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Haina Yan dkk. (2023) menegaskan bahwa pemerintah yang terbuka dalam menyampaikan informasi tentang capaian, tantangan, dan rencana ke depan dapat membangun hubungan yang lebih solid dengan masyarakat. Di Polewali Mandar, pemerintah bisa memanfaatkan berbagai saluran komunikasi, seperti laporan berkala, konferensi pers, atau platform digital untuk memberikan update secara jujur dan terbuka mengenai progres kerja mereka. Ini tidak hanya mencegah misinformasi, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat.

Namun, tantangan terbesar dalam evaluasi 100 hari sering kali terletak pada konsistensi setelah periode tersebut berakhir. Periode 100 hari seharusnya bukanlah garis finish, tetapi titik awal untuk merancang kebijakan yang berkelanjutan. Sebagaimana telah banyak disarankan, pemerintah perlu memiliki peta jalan yang jelas untuk melanjutkan program-program prioritas dan mengevaluasi ulang kebijakan yang belum efektif. Jika hanya berfokus pada hasil jangka pendek, kita berisiko kehilangan momentum untuk membangun kebijakan yang lebih visioner dan berjangka panjang. Pada titik inilah pemantauan independen—baik oleh akademisi, lembaga swadaya masyarakat, atau media yang berkomitmen pada keadilan sosial—menjadi sangat krusial. Pemantauan ini memastikan bahwa komitmen awal pemerintah tidak menguap begitu saja setelah sorotan media mereda.

Bagi Polewali Mandar, 100 hari pertama adalah sebuah kesempatan emas untuk membangun tata kelola pemerintahan yang lebih partisipatif, akuntabel, dan berpihak pada masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa evaluasi yang dilakukan tidak hanya berorientasi pada laporan pencapaian yang menggembirakan di atas kertas, tetapi juga pada proses yang menciptakan ruang untuk dialog, pembelajaran, dan penyesuaian terhadap kebutuhan masyarakat. Evaluasi yang reflektif dan inklusif akan memberikan makna yang jauh lebih besar daripada sekadar hasil yang tampak gemilang dalam waktu singkat. Dengan demikian, 100 hari pertama pemerintahan dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan dan benar-benar berpihak pada rakyat.

Pada akhirnya, ukuran keberhasilan sebuah pemerintahan tidak terletak pada seberapa banyak proyek yang selesai dalam 100 hari, tetapi pada sejauh mana kebijakan yang diambil mampu membawa perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat. Polewali Mandar memiliki peluang untuk menjadikan periode 100 hari pertama ini sebagai contoh bagaimana evaluasi kinerja pemerintahan bisa dilakukan dengan bijak, adil, dan bermartabat. Keberhasilan sejati akan tercermin ketika kebijakan yang diambil mampu menjawab tantangan masyarakat secara mendalam dan berkelanjutan. Semoga, Polewali Mandar dan daerah lainnya dapat menjadikan evaluasi 100 hari sebagai sarana untuk memperkuat fondasi pemerintahan yang lebih baik di masa depan.