Wukuf di Padang Ma’rifah

Reportase Haji 2024 M|1445 H
Oleh : Usman Suhuriah
TPHD Sulbar melaporkan dari Makkah

Tak seorang pun jamaah haji tidak berada di Arafah sejak 8 Zulhijjah 1445 H hingga 13 Zulhijjah 1445 H, semuanya berada diantara Arafah, Muzdalifah, Mina.

Seberapa besarkah “guncangan” perasaan jamaah haji yang tengah melakukan wukuf di Arafah. Seberapa tahan menghadapi pesona ruhaniah. Sebab sangat mungkin yang terjadi bukan lagi soal kefanaan (hal mendunia), mengenai suhu panas, di toilet harus antri, berdesakan dalam tenda, kekurangan makanan dst, Ini soal gumpalan perasaan nan mendera.

Kaidah mendasar mengenai wukuf di Arafah dinyatakan bahwa orang-orang yang datang adalah “tamu tamu” Allah azza wa jalla. Para tamu ini hadir guna melepaskan diri dari hal simbolik duniawi. Hadir untuk kemudian dituntut lebur ke dalam kebersamaan. Jabatan, kedudukan, latar belakang dst menjadi sirna, menyatu untuk menghadap Allah azza wa jalla.

Di antara gunung-gunung tandus, batu cadas, di tengah padang Arafah, dengan rentang jarak sangat luas, maka manusia sekonyong-konyong wujud ke dalam kekerdilan di tengah kebesaran Dia dan alam ciptaanNya.

Itulah sebabnya manusia yang wukuf di Arafah hanya bisa merunduk, berdzikir, bermunajat, bertakbir, bertahmid, memuji-muji kebesaranNya. Hingga yang terpancar hanyalah cahayaNya, memasuki palung hati terdalam, mencipta hubungan mesra, ia dan IA.

Husain Heryanto (2020); tentang Arafah adalah ma’rifat, disebut bahwa Kata Arafah berasal dari kata ‘arafa (mengenal), yang juga akar kata dari ma’rifah (mengenal Allah).  Ini berarti wukuf di Arafah merupakan petunjuk kuat bahwa tujuan pokok ibadah adalah untuk mengenal Allah.

Menurutnya, “mengenal Allah”? Apakah mengetahui nama-nama-Nya, hafal 99 al-Asma’ al-Husna atau hafal 20 sifat-Nya, sudah merupakan makrifat? “Tidak”. Kalau sekedar hafal, bukan itu yang dimaksud.

Yang dimaksudkan mengenal Allah adalah merasakan kehadiran wujud-Nya dengan segala sifat kesempurnaan-Nya yang membuat jiwa seseorang selalu dalam keadaan sadar bahwa ia adalah milik Allah dan kepada-Nya ia kembali (inna lillahi wa inna ilayhi raji’un).

Mengenal Allah artinya hati ia akan bergetar dan tercekam oleh keindahan dan keagungan sifat-sifat-Nya. Mengenal Allah adalah isi jiwanya yang merindui dan lalu mencintai-Nya. Yang sedemikian rupa membuat tidak ada tempat bagi yang lain dalam hati ia kecuali wajah-Nya yang menyinari fuad, kalbu dan keseluruhan eksistensinya.

Pandangan yang dimaksudkan Husain Heryantho, menghubungkan peristiwa wukuf di Arafah ini, tentu saja memiliki isyarat sama. Bahwa hati yang bergetar, kalbu mereka yang mencipta kemesraanNya, muara hati yang serempak memecahkan buliran air mata, maka kebesaranNyalah yang wujud membuka hati yang entah mengatup berubah pecah dan lelehlah airmata, takhta ke dalam kalbu.

Sepanjang kesaksian yang terlihat, saat wukuf di Arafah, saat khatib membaca kalimah talbiah, ajakan menuju peningkatan kwalitas ketakwaan, lantunan doa dan pengharapan, serta pengampunanNya. Maka tak satupun yang tak menitikan air mata, leleh menjadi genangan air mata bersama.

Semoga ini sebagai tanda ; Wukuf Arafah menjadi wukuf padang ma’rifah (Merasakan kehadiranNya di hati mereka) Wallahu a’lam.