Secara praktis, kerangka tata kelola pasar digital ini akan mengatur mekanisme kompetisi dan menciptakan pasar digital yang lebih adil, sehingga menciptakan lingkungan yang kondusif dan produktif bagi bisnis dan inovator. Kebijakan ini tidak hanya akan menjamin ekosistem pasar digital yang adil bagi startup tetapi juga bisa mencegah perusahaan teknologi besar (big tech) dalam menghambat pertumbuhan ekonomi digital nasional, seperti melalui monopoli pasar.
Tata kelola pasar digital akan bertindak sebagai benteng proteksi terhadap munculnya surveillance capitalism, yakni ketika perusahaan teknologi besar bisa mengendalikan dan mengeksploitasi data perilaku konsumen. Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini juga akan membuka jalan bagi harga yang lebih adil, layanan yang lebih baik, dan jaminan keamanan bagi konsumen pengguna pasar digital.
Komisi Eropa, misalnya, telah menerapkan regulasi pasar digital yang mengatur ketat dominasi enam perusahaan yang telah dikategorikan sebagai “gatekeepers”–Alphabet, Amazon, Apple, ByteDance, Meta dan Microsoft–dalam ekosistem bisnis Uni Eropa melalui _the Digital Markets Act _(DMA).
Aturan lain, seperti the EU antitrust law, yang melarang diskriminasi, mendorong transparansi, dan menjamin kepentingan konsumen ini menjadi dasar kasus denda kartel sebesar 2,4 miliar euro (Rp40,63 triliun) pada 2017. Kala itu, Google dituduh memanfaatkan posisinya dalam pencarian online dengan memberikan prioritas pada layanan perbandingan harga mereka, yaitu Google Shopping.
Pemimpin yang terpilih nantinya bisa mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan semacam ini. Tanpa adanya rencana soal penguatan regulasi, komitmen dari ketiga calon untuk memanfaatkan perkembangan pasar digital masih patut diragukan. (*)
(Artikel ini ditulis oleh Albert Jehoshua Rapha Research fellow, Pusat Kajian Kebijakan dan Manajemen Pembangunan (PK2MP), Universitas Diponegoro, dan Rania Teguh Research Scholar, Australian National University. Tulisan ini pertama kali di The Conversation.)