Urgensi Keseimbangan

Oleh: Burhanuddin Hamal, Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kecamatan Tinambung, Polewali Mandar

KERO SITAPPA’ tak hanya identik dengan GAU’ SITINAYA (hal yang sewajarnya), tetapi disamping cenderung pada KESEDERHANAAN juga muatannya menghadirkan makna “apa adanya” (KETULUSAN sebagai bawaan sejati manusia).

Kebalikan dari itu, boleh jadi membangun manusia dalam karakter diri dan gaya hidup yang sifatnya BERLEBIH-LEBIHAN (melampaui batas). Hal ini sinkron ketika agama menegur perangai yang demikian, dan bukan tak mungkin menyiratkan makna “ada apanya” (fakta-fakta kehidupan berselubung KEPENTINGAN).

Ketika muatan QS. Al-Maidah: 77-78 mengajarkan keutamaan manusia dalam melakukan kewajiban-kewajiban hidup (akumulasi penjabaran beragama) berdasarkan takaran porsinya, maka petuah Kemandaran pun berpesan “pogau’i apa-apa topa di lalang assitinayanna” (kerjakanlah segala sesuatu didalam nilai dan batas kewajarannya).

Dengan demikian, Islam dan konsepsi nilai budaya Kemandaran pada dasarnya bersinergi membangun kehidupan manusia dalam tatanan-tatanan KESEIMBANGAN. Di ranah ini, kemaslahatan berbingkai kebersamaan diharapkan bisa terwujud. Hal ini tidak hanya direspon oleh muatan QS. Al-Anbiya’: 107, tetapi juga relevan ketika Nabi berpesan bahwa “Sebaik-baik perbuatan adalah yang mengacu pada makna PERTENGAHAN” (capaian kemaslahatan lewat keseimbangan antar sisi-sisi kehidupan).

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa petuah-petuah lokal Kemandaran yang notabene mengadopsi ajaran agama cenderung menyimpulkan bahwa nilai kebaikan dari segala sesuatu itu ranahnya di “pertengahan”? Jawabnya, karena segala bentuk keputusan menyangkut sikap, perilaku dan wujud perbuatan apapun yang cenderung “melampaui batas”, klimaksnya pasti berpotensi menjerumuskan manusia dalam genggaman Iblis dan kesia-siaan (muatan QS. Al-Isra’: 27).

Usikum wanafsi bitaqwallah, Wallahu a’lam bissawab.

Ilustrasi: Repro