Transformasi Kepramukaan dan Visi Indonesia Digital 2045

oleh
oleh

Oleh Adi Arwan Alimin | Pusdiklatda Sulbar/Member ATAS Indonesia

BAYANGKAN seorang anak duduk di tenda menatap layar smartphone. Di satu sisi, ia sedang mengikuti kegiatan perkemahan yang mengajarkannya tentang kemandirian dan kerjasama. Di sisi lain, notifikasi media sosial seperti perintah bertubi-tubi yang lebih menarik perhatiannya dari unggun api. Pemandangan ini bukan anomali, melainkan representasi nyata tantangan kepramukaan abad ke-21.

Inilah dilema yang ingin dijawab World Organization of the Scout Movement (WOSM) ketika meluncurkan identitas barunya dengan tagline Ready for Life tahun 2024. Lebih dari sekadar rebranding, perubahan ini mencerminkan kesadaran mendalam bahwa generasi muda hari ini menghadapi kompleksitas kehidupan yang tak pernah ada sebelumnya. Peserta didik sedang diambang waktu yang tak pernah dihadapi kakak Pembinanya.

Di era digital remaja Indonesia rata-rata menghabiskan lebih dari tujuh jam per hari menatap layar HP. Mereka hidup dalam dua dunia sekaligus, antara realitas nyata dan ruang virtual yang tak terbatas. Lord Baden-Powell menyebut generasi ini sebagai citizens of tomorrow” tengah dirundung tantangan yang tak pernah dibayangkan oleh pendiri Kepramukaan itu.

Bayangkanlah jika seorang siswa SMA atau usia Penegak yang dalam sehari mengakses informasi setara perpustakaan lengkap, namun kesulitan menentukan mana yang benar dan mana yang hoaks. Atau, seorang anak SD atau usia Penggalang yang baru saja mendapat akses internet, tiba-tiba terpapar pada berbagai konten global tanpa filter yang memadai. Inilah kenyataan yang membuat Ready for Life menjadi sangat relevan.

Transformasi dari Creating a Better World menjadi Ready for Life bukan sekadar permainan kata. Bila dimaknai secara mendalam ada pergeseran filosofis di baliknya. Jika slogan lama menekankan pada tindakan eksternal, bagaimana Gerakan Pramuka mengubah dunia, maka tagline baru fokus pada kesiapan internal organisasi ini mempersiapkan diri menghadapi dunia yang terus berubah.

Pergeseran ini sangat masuk akal dan mendesak.  Kita atau generasi penulis yang tumbuh dalam dunia yang relatif stabil dan dapat memprediksi serta bisa merencanakan karir, katakanlah yang linear dari sekolah, kuliah, bekerja di satu perusahaan selama 30 tahun, lalu pensiun. Bagaimana dengan generasi muda hari ini yanag bakal mengalami rata-rata pergantian pekerjaan beragam sepanjang hidupnya, bahkan pada jenis profesi yang belum ada saat mereka lahir.

Dalam konteks inilah Ready for Life menjadi sangat bermakna. Bukan lagi tentang mempersiapkan generasi muda untuk satu jenis kehidupan yang dapat diprediksi, melainkan membekali mereka dengan kemampuan adaptabilitas, resiliensi, dan keterampilan pembelajaran seumur hidup. Bagaimana pangkalan menyiapkan dasar-dasar berpikir secara dini agar mereka tumbuh kuat dan visioner.

Sistem Among dalam Pusaran Digital

Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam kepramukaan global melalui Sistem Among yang diwariskan Ki Hajar Dewantara. Konsep yang mengajarkan kepemimpinan melalui tiga semboyan: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Di era digital, filosofi ini tentu mendapat dimensi baru yang menarik.

Seorang Pembina yang memimpin peserta didiknya dalam kegiatan eksplorasi alam, kini harus mampu menjadi teladan dalam menggunakan teknologi secara bijak. Ketika ia memosting foto kegiatan di media sosial, ia tidak hanya berbagi momen, tetapi juga dia sedang mengajarkan digital citizenship. Ketika Pembina menggunakan aplikasi untuk navigasi hiking, dia tengah menunjukkan bagaimana teknologi bisa menjadi alat yang membantu, bukan menggantikan kemampuan dasar orientasi.