Oleh: Burhanuddin Hamal
(PAIF KUA Kec. Tinambung Kab. Polewali Mandar)
Pergantian tahun demi tahun berganti tak hanya membawa kita semakin jauh dari titik kelahiran, tetapi juga makin mengikis usia kehidupan menuju batas kematian (kepastian yang dirahasiakan). Fakta Kauniyah ini diharapkan mengedukasi kesadaran setiap manusia agar lebih lihai berbenah dan menata realitas diri dalam prinsip-prinsip keseimbangan.
Disamping agama mengajarkan bahwa “Sebaik-baik perkara adalah yang ranahnya di pertengahan” (Hadits), juga permanennya do’a di keseharian kita mengacu pada standar keseimbangan antara kebahagiaan yang bersifat Duniawi dan urgensi Ukhrawi. Tentu saja capaian keduanya menjadi target dan prioritas bagi manusia yang menghargai anugerah hidup sebagai amanah Tuhan, sekaligus yang mengimani adanya kehidupan sejati setelah kematian.
Perbandingan keutamaan antara hal-hal Duniawi (kehidupan saat ini) dengan hal Ukhrawi (kehidupan sesudah mati), sebagaimana terisyaratkan dalam QS. Ad-Dhuha: 4 pada dasarnya tidaklah bermaksud memilih salah satunya dan mengabaikan yang lainnya.
Filosofi kehidupan Dunia ini adalah miniatur dari kehidupan sesudahnya. Karena itu, hidup yang sekarang sesungguhnya merupakan sarana yang efektif untuk membangun harapan kebahagiaan di masa depan Akhirat nanti (muatan QS. Al-Hasyr: 18).
Kedua dimensi hidup tersebut, yaitu Duniawi dan Ikhrawi, memiliki kedudukan yang sama pentingnya dan harus diperhitungkan dengan proporsionalitas yang seimbang (legitimasi QS. Al-Qashas: 77). Saat sisi Duniawi kita lemah dan tidak punya daya untuk “berbuat” maka bagaimana mungkin kehidupan ini plus masa depan agama bisa dibangun ?. Karena itu, agar kefana’an Duniawi ini menjadi bermakna dan tidak berujung kesia-siaan maka eksistensinya harus dikelola dengan kesadaran-kesadaran bermuatan Ukhrawi (tatanan agamis).
Pergantian tahun demi tahun berganti merupakan tahapan realitas yang konsekuensinya ditentukan oleh bagaimana manusia mengolah materi kehidupan ini. Otoritas waktu yang analoginya bagaikan “mata pedang” (relatifitas untung ruginya manusia), hanya memastikan empat golongan yang terhindar dari ancaman tersebut. Mereka adalah orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling ingat mengingatkan pada hal kebenaran dan saling memotivasi terkait pentingnya perisai kesabaran (muatan QS. Al-Asr: 1-3).
Jika pergantian tahun demi tahun berganti berjalan didalam kendali muatan firman Tuhan tersebut, maka reputasi diri manusia dari waktu ke waktu pasti berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik.
Terkait hal ini, Rasulullah SAW berpesan, “Barang siapa yang kenyataan dirinya di hari ini sama dengan hari kemarin tergolong ia MERUGI, lalu barang siapa yang kenyataan dirinya di hari ini lebih buruk dari hari kemarin tergolong ia CELAKA, dan barang siapa yang kenyataan dirinya di hari ini lebih baik dari hari kemarin tergolong ia BERUNTUNG” (HR. Al-Hakim).
Dengan demikian, urgensitas prinsip-prinsip pemberdayaan diri dan orientasi kehidupan manusia sangat sejalan dengan makna TAHUN BARU yang kita rayakan setiap tahun. Bukankah muatan QS. Al-Isra’: 14 secara filosofis mengingatkan setiap manusia untuk rajin berbenah dan melakukan introspeksi diri secara obyektif dari waktu ke waktu…..?
Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a’lam bisshawab.