Strategi Pemajuan dan Pengusulan WBTb Sulbar Selanjutnya

Laporan: Wahyudi Muslimin

POLEWALI, mandarnesia.com — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan menetapkan 289 Warisan Budaya Takbenda (WBTb) di 28 provinsi sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2021.

Penetapan yang digelar di Gedung Plasa Insan Berprestasi Kemendikbudristek, Jakarta, pada Selasa malam (7/12), tak satu pun warisan budaya dari Provinsi Sulawesi Barat. Ada apa?

Mandarnesia.com mencoba menemui Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat untuk meminta tanggapan, pada tanggal 8 Desember 2021, namun sedang tidak berada di kantor OPD tersebut.

Muhammad Ridwan Alimuddin peneliti kebudayaan Mandar pun melalui WhatsApp memberikan tanggapan atas nihilnya Sulawesi Barat dalam penetapan WBTb. Dia menyesalkan karena dalam dua tahun terakhir tidak ada WBTb 2021 dari Sulawesi Barat.

“Agak menyesalkan karena dalam dua tahun terakhir tidak ada WBTb dari Sulawesi Barat. Informasi ini saya dapat beberapa waktu lalu sewaktu pak Mukhlis Paeni dan tim datang ke Sulawesi Barat. Sudah dua tahun pihak Sulawesi Barat tidak maju ke sidang, padahal pihak BPNB sudah mengawal. Pihak BPNP menyesalkan sebab tidak ada perbaikan dari pihak provinsi, pengusulan memang lewat provinsi, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.” Ungkap Ridwan kepada mandarnesia.com Rabu, 8 Desember 2021.

Lanjut disebutkan Ridwan, itu karena berkas pengusulan tidak lengkap, khususnya di naskah akademik dan video.

“Itu kan harus ada semua pas sidang di Jakarta, tapi kabarnya pihak Sulawesi Barat tak melengkapi. Memang dulu ada beberapa pihak yang meminta masukan usulan apa yang layak dari Sulawesi Barat yang mendapat status WBTb. Saya sampaikan rumpon dan tenunan layar ‘karoroq’. Tapi sebatas itu saja, teman-teman catat tapi tidak pernah ada semacam ajakan diskusi untuk meminta masukan naskah-naskah akademik dan dokumentasi videonya.” Lanjut Muhammad Ridwan yang kegiatan terakhirnya berkeliling Sulawesi mendokumentasikan pohon asam.

“Kebetulan saya pernah mendalami teknologi rumpon, saya pernah diundang ke Jepang untuk memaparkan hukum laut di rumpon. Makalah saya masuk prosiding internasional. Itu kan bisa jadi naskah akademik, termasuk referensi-referensi lain. Demikian juga dengan karoroq. Dokumentasi proses pembuatannya banyak sekali. Ada juga buku Belanda yang terbit puluhan tahun lalu bahwa karoroq terbaik dibuat di Mandar, dan Buton. Tapi sejak itu (sebelum pandemi) hingga tahap-tahap sebelum sidang (juga sampai sekarang) tidak ada pernah ada yang meminta dokumen-dokumen itu,” sebut Ridwan.

Ketika ditanya apa yang dilakukan untuk pemajuan kebudayaan kita di Sulawesi Barat?

“Ke depan sih yang harus dilakukan adalah upaya kolaborasi yang komprehensif dan mengutamakan kualitas. Maksudnya, fokus saja satu dua tradisi untuk di-WBTb-kan, dan itu harus digarap baik-baik, baik antara dinas dengan pihak luar (pendokumentasi, komunitas, budayawan, ilmuwan) maupun dinas sendiri. Tidak usah catat banyak-banyak, tapi tidak diurus baik-baik,” ungkap Muhammad Ridwan Alimuddin lelaki kelahiran Tinambung ini.

Lebih jauh mandarnesia.com Rabu, 8 Desember 2021 juga meminta tanggapan Dr. Sri Musdikawati melalui WhatsApp , ia merupakan salah satu akademisi bidang linguistik.

Menurutnya Warisan Budaya Takbenda ini sempat dibincang untuk menyiapkan kajian-kajian. Hanya dia tidak mengikuti wacana selanjutnya untuk membuat tim.

“Perkiraan saya hambatannya adalah dalam perjalanan menyiapkan WBTb tiba-tiba ada bencana gempa ini bukan pembenaran tapi ini asumsi. Kami juga tidak punya legalitas untuk terlalu banyak mencampuri, tapi kami yakin, dan percaya teman-teman siap membantu, bahkan saya dengar beberapa orang sudah membantu pemerintah menyiapkan narasi dari hasil kajiannya,” jelas Sri Musdikawati.

Lalu kendalanya seperti apa? “Sekali lagi jujur saya tidak mengikuti kemudian karena dengan terjadinya bencana itu, saya juga tidak bertanya apa masalahnya, dan tidak ingin mengganggu konsentrasi pemerintah mengurusi penyelesaian bencana,” terangnya.

Dr. Sri Musdikawati yakin dan percaya bahwa ada pihak yang sudah membuat hasil kajian itu. “Kami pernah dengar wacana bahwa akan melibatkan teman-teman yang punya kapasitas dan kepedulian terhadap budaya, meskipun kemudian saya tidak mengikuti perkembangannya.

Menurutnya kita kaya akan budaya, tinggal menyatukan kekuatan untuk sama-sama peduli.

Apa strategi yang dibutuhkan Diknasbud Sulbar? Menurut doktor ilmu bahasa itu, bahwa tidak adanya nama Sulawesi Barat pada penetapan WBTb 2021 ini jadi pelajaran yang sangat berharga, mulai dari sekarang harus dipikirkan dan dikaji.

“Sebenarnya tinggal keinginan kita dan fokus pada kajiannya, kalau memang butuh tim silakan dibentuk tim, tapi tim ini juga butuh legalitas agar merasa lebih nyaman bekerja, basa mandar na masiriq tau lao massimbong-simbongngi muaq andiangi dissang namettama pole innai tau, (Malu kita mencampuri suatu urusan bila kita tidak tahu, mau masuk ke mana -red). Saya lihat di beberapa daerah melibatkan akademisi dan budayawan yang paham persis apa yang tepat diangkat,” tutupnya.