Lalu ajukan pertanyaan yang memicu disrupsi. Misalnya tantangan bagi peserta didik menyiapkan bahan yang menantang mereka menciptakan sistem evakuasi baru. Pendekatan katalis akan membuat transformasi lahirnya metode “Scout Rescue Drone”, bila tugas membuat tandu konvensional itu dapat dikombinasi modifikasi, maps, dan drone pemantau.
Urgensi metode katalis sangat besar dalam berbagai konteks, baik dalam industri, bisnis, maupun sosial. Strategi katalis berperan sebagai pemicu perubahan, penggerak inovasi, dan pemecah masalah. Di bidang industri, katalis digunakan untuk mempercepat reaksi kimia, meningkatkan efisiensi proses, dan mengurangi dampak lingkungan.
Dalam bisnis, strategi katalis membantu memperluas jangkauan, meningkatkan daya saing, dan menciptakan hubungan yang lebih efektif. Sementara dalam konteks sosial, katalis dapat menjadi pemicu perubahan sosial dan mempercepat upaya pemecahan masalah yang kompleks.
Poin terakhir ini merupakan jiwa dari semua pendekatan yang penulis ajukan. Pelatih-Pembina harus berperan mendorong peserta didik melompati zona nyaman. Tantangan terbesar generasi Z/Alpha atau peserta didik saat ini mentalitas instan dan takut gagal. Seorang yang seharusnya katalis tidak lucu bila pada fase awal justru takut gagal dan gigil memulai.
Sebagai Pelatih sejati, kita mestinya menciptakan safe space untuk eksperimen peserta didik, dan mampu mengubah mindset bahwa kegagalan merupakan bahan refleksi. Kita mestinya berdiri kukuh sebagai perancang proyek inovasi berdampak sosial. Sayangnya model pengabdian sosial/masyarakat gerakan ini sepertinya sering didahului pegiat atau pemerhati sosial di banyak palagan.
Di sejumlah kesempatan penulis sering mengatakan, bila kita belum mampu memberi uang pada orang lain atau peserta didik, kita mesti hadir memberikan ruang. Inisiatif seperti ini akan melahirkan kualitas atau impact pembinaan yang mengubah peserta didik sebagai agen perubahan.
Arkian, tiga peran di atas sejatinya saling terhubung secara organik. Seorang Coach adalam pemberi modal teknis (hard skills), sedang Counselor bertugas mengasah ketajaman nurani (soft skills), lalu sebagai Catalyst, hadir menyulut semangat inovasi (growth mindset).
Peserta didik hari ini berhadapan dengan dunia yang kompleks, dari perubahan iklim hingga disrupsi AI. Mereka butuh pembina yang bukan hanya “pengajar”, tetapi pemandu holistik yang mampu menyiapkan manusia unggul: terampil, berkarakter, dan adaptif.
Dunia yang kompleks bagi kepramukaan saat ini mencakup berbagai tantangan dan peluang. Ada tantangan seperti kesadaran generasi muda yang kurang, mudahnya mereka dipengaruhi hal negatif, dan kurangnya kerjasama. Di sisi lain, ada peluang memanfaatkan era digital sebagai agen kebaikan melalui media sosial, serta mengembangkan kegiatan kepramukaan yang inovatif dan menarik. (https://jatengprov.go.id/publik/era-digital-pramuka-dituntut-jadi-agen-kebaikan)
Pandangan penulis ini bukan semata teori, melainkan metode atau strategi untuk membangkitkan kukuhnya karakter peserta didik. Ketika Pelatih Pembina memadukannya secara dinamis, semoga lahir Pembina Pramuka yang tidak hanya kompeten, namun selalu aktual dalam terobosan gagasan.
Pendekatan holistik ini ingin melihat suatu masalah atau situasi dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang sedang dihadapi Gerakan Pramuka. Bukan hanya mengulik bagiannya secara terpisah. Artinya, kita tidak boleh hanya fokus pada satu aspek, namun harus memperhatikan interaksi dan hubungan antara berbagai aspek.
“Lebih baik melihat kebaikan-kebaikan pada suatu hal daripada mencari kejelekan-kejelekannya,” pesan Lord Baden Powell (pramukadiy.or.id).
Inilah esensi pemitaran sejati. Ketika kita sanggup dan bersedia menyalakan api mata rantai pembelajaran yang terus menyala. Hadirlah menjabat tangan, datanglah menyentuh hati, dan berdirilah untuk menyalakan pikiran. (#)
Makassar-Mandar, 9 Juni 2025