Sekolah Bukan Sekadar Skolē: Saatnya Menjadi Penuntun Peradaban

oleh
oleh

Oleh Muliadi Saleh – Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan

TAHUN ajaran baru baru saja dimulai. Pagi-pagi sekali jalanan telah ramai. Di ujung gang, anak-anak berseragam putih-merah berjalan beriringan dengan tas yang hampir sebesar tubuhnya. Di depan gerbang sekolah menengah, remaja-remaja berwajah canggung saling bercanda, menyembunyikan rasa gugup menyambut hari pertama. Para orang tua, dengan wajah penuh doa dan harapan, ikut mengantar hingga halaman sekolah. Ada yang memeluk erat anaknya sebelum melepas langkahnya memasuki ruang kelas. Ada yang hanya berbisik, “Belajar yang rajin, Nak. Semoga cita-citamu tercapai.”

Sekolah kembali hidup. Papan tulis yang lama diam kini kembali diisi coretan coretan pembelajaran. Ruang-ruang kelas yang hening kini bergema oleh suara guru menjelaskan, suara anak-anak bertanya, dan suara canda yang mengalir seperti sungai kecil di sela-sela jam pelajaran. Tahun ajaran baru selalu menjadi awal cerita baru, bukan hanya bagi anak-anak, tetapi juga bagi para guru, para orang tua, dan kita semua yang menaruh harapan pada dunia pendidikan.

Kata sekolah sendiri, yang begitu akrab di telinga kita, berasal dari bahasa Latin schola yang berarti “waktu senggang yang dipergunakan untuk belajar”. Di masa Yunani Kuno, scholē adalah tempat orang-orang belajar filsafat, berdiskusi, mencari hikmah dari hidup. Kata ini lalu merantau melintasi abad dan budaya, hingga akhirnya menetap dalam bahasa kita: sekolah.

Namun dalam khazanah Nusantara, kita juga mengenal istilah yang penuh makna: Taman Siswa. Nama ini dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Sebuah konsep pendidikan yang bukan hanya tempat belajar, tetapi taman tempat anak-anak bertumbuh dengan riang, penuh kasih, dan berakar pada budaya bangsa sendiri. “Taman” melambangkan ruang yang asri, yang memelihara jiwa; “siswa” adalah anak bangsa yang belajar dengan merdeka.

Peran dan Kiprah Sekolah

Di balik dindingnya, sekolah menjadi jembatan antara mimpi dan kenyataan. Ia tempat ilmu ditanamkan, keterampilan diasah, karakter dibentuk. Di sini anak-anak diajari bukan hanya membaca, menulis, berhitung, tetapi juga nilai-nilai luhur: kejujuran, disiplin, tanggung jawab. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, pernah berkata, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Di depan memberi teladan, di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan. Itulah hakikat pendidikan yang sejati.

Pendidikan, sebagaimana ditulis Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, bukan sekadar proses memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, tetapi “tindakan pembebasan” — upaya membuka mata agar manusia bisa berpikir kritis dan membebaskan dirinya dari kebodohan dan keterbelakangan.

Setiap anak yang datang ke sekolah adalah amanah. Mereka datang dengan rasa ingin tahu yang besar, dengan potensi yang berbeda-beda. Tugas sekolah adalah memelihara potensi itu, membimbingnya, menguatkannya, agar kelak mereka tumbuh menjadi manusia merdeka yang bermanfaat. Anak didik bukanlah gelas kosong yang harus diisi; mereka adalah benih yang harus dirawat dengan sabar.

Tanggung Jawab Sekolah dan Guru

Sekolah memikul tanggung jawab yang amat besar: memastikan setiap anak mendapat haknya untuk belajar dalam lingkungan yang aman, inklusif, dan menyenangkan. Guru bukan hanya pengajar, melainkan juga pengasuh, penuntun, kadang menjadi sahabat, kadang menjadi orang tua kedua. Dari ruang kelas yang sederhana bisa lahir seorang dokter, seorang insinyur, seorang pemimpin yang bijak—jika pendidikan dijalankan dengan hati dan visi yang tulus.

Peran Orang Tua: Tiang Kedua Pendidikan

Namun, pendidikan tak bisa hanya dibebankan kepada sekolah. Orang tua adalah guru pertama dan utama. Setiap pagi, ketika seorang ibu merapikan seragam anaknya, menyiapkan bekal, menaruh doa di setiap suapan nasi, di sanalah pendidikan sejati berlangsung. Ayah yang mengajarkan kejujuran dalam mencari nafkah, yang menanamkan semangat pantang menyerah, adalah teladan hidup yang tak tergantikan.

Peran Lingkungan: Ladang Nilai

Lingkungan masyarakat juga ikut menentukan warna pendidikan. Jalanan yang aman, perpustakaan desa yang terbuka, tetangga yang saling menjaga, adalah bagian dari ekosistem pendidikan. Pepatah lama mengatakan, “It takes a village to raise a child” — dibutuhkan seluruh kampung untuk membesarkan seorang anak. Begitu pula pendidikan: sekolah, orang tua, dan lingkungan harus berjalan seirama.

Hakekat Pendidikan

Hakekat pendidikan bukanlah sekadar mencetak manusia pintar, tetapi manusia yang berbudi pekerti, yang mampu membaca zaman sekaligus menjaga nurani. Pendidikan adalah upaya menyalakan lilin di hati setiap anak, agar mereka mampu berjalan di tengah gelapnya tantangan dunia.

Prof. Anies Baswedan pernah mengatakan, “Pendidikan adalah tentang menumbuhkan manusia, bukan hanya memindahkan pengetahuan.” Kalimat ini mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati adalah proses panjang yang memerlukan cinta, dedikasi, dan kolaborasi.

Tahun ajaran baru selalu membawa harapan baru. Di setiap langkah kecil anak-anak menuju sekolah, di setiap tatapan orang tua yang melepas mereka, tersimpan doa yang sama: semoga pendidikan membawa masa depan yang lebih baik. Sekolah adalah rumah kedua, tempat mereka ditempa, dibentuk, disiapkan menjadi penerus bangsa.

Dan kita semua, sebagai masyarakat, sebagai bangsa, punya tanggung jawab yang sama: menjaga agar sekolah tetap menjadi cahaya yang menuntun peradaban, agar dunia pendidikan kita bukan hanya melahirkan manusia cerdas, tetapi juga manusia yang berhati besar dan berjiwa luhur.

Muliadi Saleh: “Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”