Oleh Adi Arwan Alimin (Pusdiklatda Sulbar/Member ATAS Indonesia)
SEBUAH ironi yang mencengangkan bila generasi yang paling melek teknologi dalam sejarah umat manusia, namun masih mayoritas yang terjebak sebagai konsumen pasif di lautan digital.
Pramuka Penegak dan Pandega, adalah saksi sekaligus aktor dalam revolusi terbesar abad ini. Setiap detik, 4,6 miliar orang terhubung dalam jejaring digital global. Setiap menit, 500 jam video diunggah ke YouTube, 347.000 foto dibagikan di Instagram, dan 5,7 juta pencarian dilakukan di Google.
Namun, di balik gemerlap statistik yang memukau itu, tersembunyi sebuah pertanyaan mendasar yang mengguncang. Apakah kita dan peserta didik ini telah menjadi budak dari teknologi yang seharusnya membebaskan?
Riset mengejutkan dari Digital Literacy Institute menunjukkan bahwa 73 persen remaja Indonesia mahir menggunakan smartphone dan media sosial, namun hanya 27 persen yang mampu membedakan informasi valid dari hoax. Lebih mengkhawatirkan lagi, 89 persen dari mereka menghabiskan rata-rata 7,5 jam sehari untuk konsumsi konten digital, sementara hanya 11 persen yang aktif memproduksi konten bermakna.
Dalam kesenyapan sesungguhnya ada kekuatan tersembunyi tengah menunggu untuk lebih diaktifkan. Sistem Saka dalam Gerakan Pramuka bukan sekadar struktur organisasi biasa, tengoklah bahwa itu blueprint revolusioner yang dapat menciptakan para digital native leaders yang Indonesia butuhkan.
Bayangkan jika setiap anggota Saka Dirgantara tidak hanya memahami teori penerbangan, tetapi juga mampu mengoperasikan drone untuk operasi SAR, menganalisis data satelit untuk prediksi cuaca, bahkan menciptakan startup aerospace technology yang berdampak global. Atau, bila anggota Saka Bahari yang tidak hanya mengenal laut secara tradisional, tetapi juga menguasai Internet of Things untuk monitoring ekosistem laut, artificial intelligence untuk memprediksi pola migrasi ikan, dan blockchain untuk traceability produk kelautan.
Juga anggota Saka Bhayangkara abad 21 bukan hanya mengetahui tupoksi keamanan konvensional, tetapi Digital Safety Evangelists yang mampu membangun ekosistem keamanan berbasis teknologi. Mereka berkesempatan untuk memahami digital forensics bagi investigasi cyber crime. Atau mengembangkan sistem early warning untuk potensi konflik sosial melalui social media monitoring.
Ini bukan utopia. Ini adalah realitas yang bisa kita wujudkan hari ini. Namun, kenyataan pahit menghadang jika kegiatan Saka masih bersifat konvensional, dan masih minimal mengintegrasikan teknologi digital, sementara yang diperlukan inovasi digital berkelanjutan.
Gerakan Pramuka memiliki infrastruktur terbaik untuk melahirkan generasi digital leaders, namun potensi itu masih terpendam dalam kenyamanan zona tradisional. Sementara dunia tidak menunggu kita bersiap.
Setiap hari, gelombang perubahan digital menggulung lebih cepat dan lebih dahsyat. Klaus Schwab, Executive Chairman World Economic Forum, memperingatkan bahwa kita tengah berada di tengah “Fourth Industrial Revolution” yang mengubah fundamental cara manusia bekerja, berinteraksi, dan bahkan berpikir.
Data McKinsey Global Institute mencatat bahwa 85 persen pekerjaan yang akan ada pada 2030 belum diciptakan hari ini. Sementara itu, 50 persen keterampilan yang kita miliki saat ini akan usang dalam 5 tahun ke depan. Artificial Intelligence, Machine Learning, Internet of Things, Blockchain, dan teknologi emerging lainnya bukan lagi konsep futuristik, semua itu adalah realitas yang menuntut adaptasi segera.
Dalam konteks ini, literasi digital bukan lagi pilihan tetapi syarat mutlak untuk survival dan leadership. Namun, literasi digital yang dimaksud bukan sekadar kemampuan mengoperasikan aplikasi atau menguasai coding.
Literasi digital sejati adalah kemampuan untuk berpikir kritis dalam ekosistem digital, mencipta solusi teknologi untuk masalah nyata, dan membangun jejak digital yang memberikan dampak positif bagi peradaban. Tugas kita adalah mendukung metamorfosis Saka dari Tradisional menuju Transformasional.
Tetapi revolusi ini hanya dapat dimulai ketika kita berani mengubah paradigma fundamental. Setiap Saka dalam Gerakan Pramuka memiliki DNA transformasi yang menunggu untuk diaktivasi. Mari kita saksikan metamorfosis yang menakjubkan.
Ketika Satu Anggota Pramuka Mengubah Dunia
Kekuatan sejati revolusi digital tidak terletak pada teknologi itu sendiri, tetapi pada dampak eksponensial yang dihasilkannya. Satu aplikasi sederhana yang diciptakan seorang Penegak dapat mengubah kehidupan jutaan orang. Satu konten edukatif berkualitas dapat menginspirasi ribuan remaja untuk memilih jalur karier yang bermakna. Satu inovasi digital dapat menjadi katalisator transformasi komunitas.
Revolusi sejati tidak dimulai dari deklarasi besar atau gerakan massal yang bombastis. Tapi dapat dimulai dari keputusan personal yang sederhana namun konsisten, yakni memilih menjadi kreator, bukan semata konsumen.
Kita memerlukan hari-hari Digital Transformation Challenge di gudep atau saka untuk mengubah mindset dan behavior ratusan Penegak Pandega. Konsepnya dapat sederhana, misalnya selama 30 hari, commit untuk menciptakan minimal satu konten digital berkualitas setiap hari. Bisa berupa artikel blog yang menginspirasi, video edukatif, podcast problem-solving, infografis awareness, atau prototype aplikasi sederhana.
Penulis yakin hasilnya bakal mengagumkan. Akan ada peserta melaporkan peningkatan signifikan dalam digital skills, atau merasakan boost confidence dalam menggunakan teknologi untuk problem-solving, atau berhasil menciptakan inovasi digital yang diimplementasikan dalam komunitas mereka.
Yang lebih penting mereka akan mengalami paradigm shift fundamental dari passive consumers menjadi active contributors dalam ekosistem digital.
Bayangkan di tahun 2045, seratus tahun kemerdekaan. Bangsa ini tidak hanya merdeka secara politik dan ekonomi, tetapi juga sovereign dalam teknologi digital. Republik yang tidak lagi menjadi pasar bagi produk teknologi negara lain, tetapi menjadi creator dan exporter inovasi digital dunia. (*)
Rumah Adat Mamuju, 21 Agustus 2025











