Oleh: Muh. Arsalin Aras (Pemerhati Budaya Mandar)
Ketika ada perubahan pola hidup masyarakat dalam konteks kekinian menjadi lebih modern, maka kecenderungan kelompok masyarakat akan memilih kebudayaan baru yang dinilai praktis dibanding budaya lokalnya.
Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya minat generasi muda kini untuk belajar dan upaya mewarisi budaya lokalnya sendiri. Ini sejalan dengan teori bahwa budaya lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yang lebih rendah dan passif melalui kontak budaya.
Salah satunya adalah pergeseran nilai-nilai budaya lokal yang cenderung berkiblat ke budaya barat, yang di era globalisasi informasi menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mempengaruhi pola pikir dan pola perilaku manusia.
Sehingga dibutuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya budaya lokal sebagai jati diri bangsa dan menjadi kewajiban bagi setiap anak bangsa untuk mempertahankannya. Generasi muda diharapkan perannya untuk terus mewarisi bagi eksistensi budaya lokal itu sendiri. Meskipun dalam terpaan badai dan arus globalisasi, namun upaya menjaga dan melestarikannya sebagai budaya keIndonesiaan haruslah terus dilakukan dengan Culture Experience dan Culture Knowledge.
Perubahan pola hidup masyarakat sebagai dampak dari arus keterbukaan di era globalisasi sangatlah perlu penanganan yang lebih baik. Terutama aspek kejut dari era teknologi canggih yang dapat membantu manusia, namun dapat pula merusak mental dan moral generasi muda
Semisal budaya gotong-royong yang sangat kental hidup di tengah masyarakat Kita, kini perlahan mulai tergerus sebagai bentuk solidaritas mekanik dan solidaritas organik, sebagaimana teori dari tokoh sosiologi yakni Emile Durkheim. Bahwa dalam masyarakat ada dua jenis solidaritas, yakni solidaritas mekanik yang kebersamaannya berdasarkan adanya rasa kekeluargaan, sedangkan solidaritas organik yang berdasarkan adanya kepentingan.
Oleh karenanya, semua unsur dan nilai-nilai budaya dari luar yang masuk dan mengusik budaya lokal keIndonesiaan perlu dikaji terlebih dahulu dengan tidak menafikan nilai-nilai dan literasi budaya lokal Kita sebelum diterapkan sebagai bentuk infiltrasi budaya lokal bangsa Indonesia.
Pesatnya arus teknologi dari luar tersebut, membuat generasi muda kini cenderung bersifat individualis yang mengejar pola dan gaya hidup yang lebih eksis di media sosial. Kehadiran teknologi luar tersebut cenderung membuat generasi muda perlahan meningggalkan kearifan budaya lokalnya sebagai nilai-nilai budaya yang mestinya sudah tertanam sejak dini sebagai kekayaan budaya lokalnya. Namun kerap teralienasi dari derasnya pusaran arus budaya dunia luar. Semisal alat musik tradisional dan permainan tradisional yang kini sudah jarang dimainkan oleh generasi muda.
Di sinilah peranan orang tua dan para pendidik di sekolah untuk lebih intensif dan maksimal memperkenalkan lebih dekat pernainan dan alat musik tradisional sebagai warisan budaya leluhur Blbangsa, yang kelak bisa mengasah otak, keterampilan dan kepribadian. Agar anak lebih berkembang dan kreatif dalam melakukan kegiatan-kegiatan dan inovasi budaya lokal, yang pada akhirnya berdampak positif bagi generasi muda.
Pelestarian budaya lokal semestinya dilakukan secara terus-menerus dengan tidak menutup diri dari arus budaya luar. Namun tetap dalam pendampingan dan filtrasi bagi anak-anak sebagai bagian dari upaya revitalisasi kearifan lokal di tengah gempuran perubahan sosio-kultural yang semakin cepat. Karenanya Pemerintah mestinya hadir dan mengedepankan pendekatan sosial kulturasi dalam Leadership Frame Work yang wajib dikembangkan.
Culture Experience sebagai bentuk pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam pengalaman kultural semisal kebudayaan berbentuk tarian. Maka masyarakat semestinya diberi pemahaman dan arahan untuk belajar dan berlatih menguasai tarian tersebut dan dipentaskannya dalam acara-acara tertentu atau diadakan festival-festival budaya lokal.