Refleksi atas Praktik, Etika, dan Tantangan Menuju 2026

oleh
oleh
Foto: Ardi Humas Unsulbar

Media digital akan terus mendorong kecepatan, sementara publik justru membutuhkan kedalaman. Inilah paradoks jurnalistik modern. Di sisi kehumasan, tuntutan serupa muncul “bagaimana menyampaikan informasi kelembagaan dengan cepat, tetapi tetap akurat dan tidak manipulatif,” tanya Nurcahya yang sekaligus sebagai moderator.

Menjelang 2026, kemampuan reportase yang baik akan menjadi pembeda utama. Jurnalis dan humas yang hanya mengandalkan rilis instan dan kutipan tanpa konteks akan tertinggal. Sebaliknya, mereka yang mampu melakukan observasi lapangan, wawancara bermakna, dan penyusunan narasi faktual akan lebih dipercaya.

Pada jam Editing Tulisan penulis mengingatkan peserta, bahwa draf rilis sering kali disalahahami sebagai tahap teknis belaka. Padahal, secara akademis, penyuntingan adalah proses epistemologis, di sana momentum memilih fakta mana yang relevan, bahasa mana yang adil, dan sudut pandang mana yang tidak bias.

Dalam konteks kehumasan, editing menentukan apakah sebuah informasi bersifat informatif atau justru propaganda. Dalam jurnalistik, editing menjadi benteng terakhir terhadap kesalahan, bias, dan sensasionalisme. Saat tanya-jawab penulis menekankan urgensi tim editor dalam kerja sunyi Humas.

Refleksi yang penulis antar menuju 2026 menunjukkan bahwa kerja sunyi penyuntingan justru semakin penting di tengah budaya viral. Ketika satu kesalahan kecil dapat menyebar luas dan merusak reputasi institusi maupun media, maka kualitas editing bukan lagi pilihan, melainkan keharusan etis.

Fotografi jurnalistik pun menjadi bagian penting dalam workshop ini karena relevansinya kian meningkat. Beberapa foto peserta ditampilkan untuk mendapat pertimbangan teknis agar memenuhi standar newsroom. Sebabnya di era visual, foto sering kali berbicara lebih cepat daripada teks. Namun, kekuatan visual juga menyimpan risiko manipulasi.

Secara akademis, foto jurnalistik harus dipahami sebagai teks visual yang membawa makna, sudut pandang, dan bahkan ideologi. Etika fotografi jurnalistik menuntut kejujuran visual, penghormatan terhadap subjek, dan konteks yang jelas. Bahwa foto selalu mewakili cerita di balik konteks yang dapat lebih bermakna dari 1.000 kata-kata.

Sementara bagi kehumasan, kita berharap foto bukan sekadar dokumentasi kegiatan, tetapi representasi narasi dan nilai institusi. Menjelang 2026, kemampuan membaca dan memproduksi visual yang etis akan menjadi kompetensi strategis, bukan sekadar keterampilan tambahan.

Saat sesi materi tentang media dan publikasi peserta antusias membincang posisi jurnalistik dan kehumasan dalam ekosistem digital yang kompleks. Media sosial membuka ruang partisipasi, tetapi juga mempercepat penyebaran hoaks dan clickbait. Di sini, refleksinya menuntut pendekatan literasi media yang kuat. Staf humas tidak cukup hanya “bisa memposting”, tetapi harus mampu mengurasi, memverifikasi, dan memberi konteks.