Refleksi atas Praktik, Etika, dan Tantangan Menuju 2026

oleh
oleh
Foto: Ardi Humas Unsulbar

(Dari Workshop Pokja Kehumasan dan Kerja Sama Unsulbar)

Oleh Adi Arwan Alimin (Akademisi/Penulis Buku)

Jurnalistik dan kehumasan tidak lagi berdiri sebagai dua entitas yang sepenuhnya terpisah. Di era digital, keduanya kerap berada dalam ruang yang sama: mengelola informasi, membentuk persepsi publik, dan menjaga kepercayaan.

Workshop Kehumasan yang diselenggarakan Pokja Kehumasan, Protokoler dan Kerjasama Universitas Sulawesi Barat dari tanggal 29-30 Desember 2025 di Makassar dalam konteks pendidikan dan penguatan kelembagaan bukan sekadar pelatihan teknis menulis berita atau trik mengambil foto.

Melainkan ruang reflektif untuk membaca ulang arah jurnalisme dan optimalisasi peran strategis kehumasan di tengah perubahan sosial yang cepat, masif, dan sering kali tak terduga. Kami juga membincang secara serius strategi menuju 2026.

Sebab tahun 2026, praktik jurnalistik dan kehumasan menghadapi tantangan yang sama. Banjir informasi, krisis kepercayaan publik, dominasi media sosial, serta tuntutan kecepatan yang sering kali mengorbankan kedalaman dan etika.

Oleh karena itu, materi-materi dasar dalam workshop yang diikuti 12 peserta aktif ini berisi: pengantar jurnalistik, teknik reportase, penulisan berita, editing, fotografi jurnalistik, hingga etika pers dan humas perlu dibaca bukan hanya sebagai kompetensi teknis. Tetapi cara merawat fondasi nilai dengan pendekatan akademis.

Bagaimana tidak jurnalistik tidak dapat dilepaskan dari ilmu komunikasi dan ilmu sosial. Jurnalisme bekerja dengan fakta, namun fakta tidak pernah berdiri di ruang hampa. Melainkan selalu hadir dalam konteks sosial, budaya, politik, dan kekuasaan.

Pemahaman awal tentang jurnalistik sebagaimana penulis paparkan dalam materi pengantar, perlu menempatkan staf Humas bukan sekadar sebagai penulis berita, melainkan sebagai aktor sosial atau SDM unggul yang memediasi realitas.

Fungsi jurnalistik sebagai penyampai informasi, pendidik publik, dan pengontrol sosial menjadi semakin relevan ketika masyarakat menghadapi disinformasi dan polarisasi opini. Di titik ini, jurnalistik bertemu langsung dengan kehumasan. Jika humas bertugas membangun citra dan komunikasi kelembagaan, maka jurnalistik bertugas menjaga jarak kritis agar informasi tetap berpihak pada kepentingan publik.

Pendekatan menuju 2026 menuntut jurnalis dan praktisi humas untuk sama-sama memahami bahwa kepercayaan publik tidak dibangun melalui retorika, tetapi melalui konsistensi, akurasi, dan etika. Materi tentang dasar penulisan berita dan teknik reportase menegaskan pentingnya prinsip 5W+1H, struktur berita, dan verifikasi data.

“Namun dalam praktik kekinian, tantangan terbesar bukan lagi bagaimana menulis, melainkan untuk apa dan dengan cara apa informasi disajikan,” ujar Darmawangsa, S.S. Ketua Pokja Humas, dan Kerjasama saat berdiskusi dengan penulis di Ibis Makassar, Senin kemarin.