KABUT TURUN
petir-petir datang serentak
berbalut luka hati yang gelisah
di tepak jendela yang mengerdilkan asmara
kemudian kau tusuk jantung ini hingga tak berdetak. kemudian lumpur darah semakin berderaian jatuh. kemudian langkah-langkah semakin berlari pergi. kemudian kursi luka tetap saja utuh. kemudian memasung laju asmara. kemudian mengakar dan tumbuh daun. kemudian menjadi dermaga mati. kemudian kosong bagai rumah hantu. kemudian mengumuh bak selokan empang. kemudian menderu terjang rayap angin. kemudian hujan-hujan tak ingin reda. kemudian bening embun masih di semak-semak berduri tajam. kemudian masih tersengat pagar kawat berduri. kemudian hutan bambu mengendap turun dengan ranting-rantingnya. kemudian rampaian bunga berguguran. kemudian getah pohon-pohon cemara menjadi nyawa terakhir. kemudian keruh-keruh darah menghitam. kemudian memalamkan tirai cakrawala. kemudian pelangi tak ‘kan muncul lagi. kemudian jeram gulita semakin menjadi maut. kemudian sepi semakin sunyi. kemudian tidak sadar dalam mata yang terbangun. kemudian mencoba melukiskan tanda-tanda suci. kemudian kabut-kabut hitam datang; menemui rongga-rongga bukit dengan hutannya. kemudian tak terlihat sedikitpun berganti hari. kemudian tidak terdapat pagi ataupun malam. kemudian semua ‘kan kembali menutup . rapat-rapat jendela yang terbuka. pada gelimang rumah tua hatiku yang mati.
Januari 2019