Jakarta, Kemenkeu – Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah dirasakan pula oleh sektor ekonomi dan keuangan, yang salah satunya menimbulkan peningkatan kebutuhan pembiayaan tidak hanya bagi Pemerintah, namun juga Badan Umum Milik Negara (BUMN). Dalam hal ini, Pemerintah telah berupaya untuk melakukan monitoring agregat pembiayaan dari luar negeri, termasuk pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh BUMN melalui mekanisme persetujuan penerimaan kredit luar negeri. Sehingga pembiayaan, khususnya yang bersumber dari luar negeri, dapat dikelola secara hati-hati (prudent).
Proses persetujuan penerimaan kredit luar negeri atau pinjaman komersial luar negeri sebelumnya didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 (Keppres 59/1972) tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri, dan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1991 (Keppres 39/1991) tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri. Namun, dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2020 (Perpres 82/2020), maka Keppres 39/1991 dinyatakan dicabut dan dilakukan pembubaran Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri.
Dengan mempertimbangkan peran penting persetujuan penerimaan kredit luar negeri, maka tugas dan fungsi Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri saat ini dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dengan mengacu pada Keppres 59/1972. Dalam rangka memberikan pedoman dalam proses persetujuan penerimaan Kredit Luar Negeri, maka Kemenkeu bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Bank Indonesia (BI) telah menyusun prosedur masa transisi. Di samping itu pula, sedang dilakukan revisi Keppres 59/1972 dengan target implementasi awal tahun 2021.
Berkenaan dengan mekanisme persetujuan penerimaan Kredit Luar Negeri masa transisi, perlu dicermati ketentuan sebagai berikut:
-
BUMN dimungkinkan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri, namun Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak dimungkinkan mendapat pinjaman luar negeri;
-
BUMN wajib mendapatkan persetujuan penerimaan Kredit Luar Negeri terlebih dahulu sebelum merealisasikan pencairan pinjaman luar negeri;
-
Mekanisme persetujuan utang luar negeri bank, termasuk bank BUMN, tetap mengacu pada peraturan yang berlaku yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 21/1/PBI/2019 tanggal 7 Januari 2019 tentang Utang Luar Negeri (ULN) Bank dan Kewajiban Bank Lainnya dalam Valuta Asing;
-
Swasta tidak wajib mendapatkan persetujuan atas penerimaan Kredit Luar Negeri.
Untuk saat ini, permohonan persetujuan serta pelaporan penerimaan Kredit Luar Negeri tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Prosedur permohonan persetujuan penerimaan Kredit Luar Negeri adalah sebagai berikut:
|
Pemohon mengajukan surat permohonan persetujuan penerimaan Kredit Luar Negeri kepada Menteri Keuangan (Menkeu) dengan tembusan surat kepada Kepala Bappenas, Gubernur BI dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (Dirjen PPR), |
|
Berdasarkan tembusan yang diterima, DJPPR memeriksa kelengkapan dokumen surat permohonan penerimaan Kredit Luar Negeri. Surat permohonan penerimaan Kredit Luar Negeri disampaikan dengan dokumen pendukung yang paling sedikit terdiri dari:
|
|
Setelah menerima disposisi oleh Menkeu, DJPPR menindaklanjuti dengan:
Surat tersebut menyampaikan (1) pernyataan bahwa dokumen telah lengkap dan (2) mengajukan permohonan pendapat Kepala Bappenas dan Gubernur BI dengan batas waktu penyampaian pendapat paling lambat 13 hari kerja sejak surat Dirjen PPR ditetapkan. Surat ini ditembuskan pula kepada Menkeu, Kepala Bappenas dan Gubernur BI, |
|
Selanjutnya, DJPPR melakukan analisis dan evaluasi untuk memastikan bahwa penerimaan Kredit Luar Negeri yang masuk ke Indonesia tidak memiliki risiko/dampak fiskal terkait risiko dari sisi Industri, Mikro, dan Makro Ekonomi Pemohon Persetujuan Penerimaan Kredit Luar Negeri yang mencakup mapping, penentuan besaran dan alternatif mitigasi (pengelolaan) risiko serta memastikan risiko default menjadi tanggung jawab pemohon dan melakukan agregasi pendapat Bappenas dan BI, |
|
Setelah Dirjen PPR menerima tembusan surat dari Kepala Bappenas dan Gubernur BI mengenai penyampaian pendapat permohonan penerimaan Kredit Luar Negeri atau menerima disposisi dari Menkeu, DJPPR menganalisis risiko, melakukan agregasi antara hasil analisis risiko dengan pendapat Bappenas dan BI. DJPPR kemudian mengajukan hal-hal berikut kepada Menkeu:
|
|
Apabila Menkeu tidak menyetujui, konsep surat persetujuan penerimaan Kredit Luar Negeri dikembalikan kepada Dirjen PPR. Selanjutnya, Dirjen PPR menginformasikan kepada pemohon mengenai penolakan permohonan penerimaan Kredit Luar Negeri dengan tembusan kepada Menkeu, Kepala Bappenas dan Gubernur BI. |
Selanjutnya, kewajiban pelaporan realisasi ULN kepada BI bagi pihak yang telah mendapatkan persetujuan penerimaan Kredit Luar Negeri (yang sebelumnya disebut sebagai pinjaman komersial luar negeri) dan perusahaan swasta, tetap tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 21/2/PBI/2019 tanggal 9 Januari 2019 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa, dan peraturan pelaksanaannya.
Sumber : Siaran Pers Kemenkeu