Oleh Adi Arwan Alimin
Pemilu 2024 sedang menenteng tantangan besar, termasuk ancaman disinformasi yang dapat menggoyahkan fondasi demokrasi. Artikel ini untuk mengeksplorasi strategi prebunking sebagai respons proaktif menghadapi risiko disinformasi dan membangun literasi digital yang kuat di masyarakat.
Pembaca dalam rentang sejak tahapan Pemilu dimulai kita telah disuguhi ribuan visualisasi. Tdak hanya di jalan yang dilewati setiap hari, tetapi juga melalui layar hape, televisi. Jumlah ini relatif lebih banyak dibanding yang faktual di dunia nyata.
Pada Pemilu 2014 dan 2019, politik Indonesia mengalami banyak kasus disinformasi. Di Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat 486 kasus dugaan pelanggaran kampanye di media sosial, termasuk penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian (Tirto.id, 2019).
Era digital yang semakin berkembang, media sosial (medsos) telah menjadi wadah yang dominan dalam memengaruhi wacana publik. Para politikus dan partai politik telah beramai-ramai memanfaatkan kekuatan media sosial untuk melancarkan kampanye politik.
Walaupun media sosial berperan efektif dalam menyampaikan informasi politik dan membangkitkan partisipasi masyarakat, sayangnya media ini kerap disalahgunakan sebagai alat penyebaran disinformasi politik atau berita hoaks. Selain Bawaslu, Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) juga mengungkapkan peningkatan jumlah berita hoaks tentang isu politik dan pemilu sepanjang 2019 yang mencapai 2.350 kasus (CNBC Indonesia, 2019).
Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bahkan mencatat dari September hingga Desember 2020 saja terdapat sekitar 1.200 kasus berita hoaks (Kompas.com, 2020).
Disinformasi politik di medsos dapat berdampak negatif. Ini dapat menyebabkan, antara lain, konflik sosial dan instabilitas politik. Efeknya, berita palsu mendorong awam atau pendukung calon tertentu cenderung hanya memercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka. Hoaks pun menciptakan ‘ruang gema’ yang menguatkan keyakinan yang pada akhirnya memecah belah masyarakat.
Pada tulisan ini saya ingin mengurai konsep konsep prebunking secara rinci. Atau ingin menjelaskan mengapa strategi ini penting, dan bagaimana dapat diimplementasikan untuk melawan disinformasi sebelum menyebar.
Dikutip melintas.id dari laman resmi Aliansi Jurnalis Indonesia, prebunking adalah upaya pencegahan penyebaran misinformasi dengan cara membuat konten periksa fakta. Laman ini juga menjelaskan tentang pentingnya prebunking dipahami oleh masyarakat pegiat cek fakta sebelum melakukan debunking.
Prebunking sesungguhnya cara atau upaya efektif untuk memperlambat penyebaran hoaks di masyarakat. Prebunking merupakan tindakan proaktif yang berfungsi mencegah atau mengantisipasi sebelum hoaks menyebar.
Sedangkan debunking merupakan tindakan reaksi cepat dengan melakukan pengecekan fakta dan pengungkapan hasil cek fakta terhadap hoaks yang telah menyebar. Keduan cara ini ibarat obat dan vaksin , prebunking vaksinasinya sedangkan debunking sebagai obat. Istilah ini disebut Adyaksa Vidi Wirawan Fact Checker Liputan6.com.
Teknik prebunking memiliki tiga kelebihan, yang pertama sebagai langkah yang menjanjikan untuk membangun resistensi terhadap informasi yang salah. Kedua, prebunking dinilai dapat memberikan efek berkelanjutan dan menjangkau lebih banyak audiens dibanding debunking.
Audiens tidak perlu khawarir, kata Vidi, akan informasi yang salah, apa yang akan menjadi viral karena sudah tahu cara agar tidak terpapar hoaks.
Cara kerja prebunking adalah dengan membangun kepercayaan sambil memberitahu cara membedakan informasi palsu atau upaya manipulasi lainnya. Sementara debunking merupakan proses membongkar kebohongan, taktik, atau sumber setelah informasi keliru menyerang. Para pemerikan fakta akan memberikan sanggahan dan klaim yang jelas terhadap suatu informasi lewat hasil pemeriksaan fakta. Setelah itu faktanya langsung disajikan.
Pemilu 2024 merupakan even sangat besar. Sebuah pesta elektoral yang memungkinkan kegaduhan informasi, masyarakat diharap dapat memverifikasi setiap informasi yang diterimanya baik dari media sosial maupun internet. (*)
#cekfakta2024