Polemik Survei, Rekayasa atau Realita

Kehebohan meruap setelah Kompas melansir hasil survei yang dilakukan oleh bagian penelitian dan pengembangannya. Sebab hasil survei itu menunjukkan perbedaan elektabilitas pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kian menipis; berbeda dengan hasil survei kebanyakan badan lainnya.

Hasil survei Litbang Kompas yang dirilis 20 Maret lalu itu tentu saja mengejutkan para pendukung pasangan bernomor urut 01 itu. Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf hanya 49,2 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga 37,4 persen. Sebanyak 13,4 persen responden merahasiakan pilihan mereka.

Hasil survei Litbang Kompas ini berbanding terbalik dengan survei-survei sudah yang dilakukan oleh beragam lembaga survei sebelumnya, yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf dengan perbedaan rata-rata 20-an persen.

Kompas sendiri menyatakan bahwa lembaganya sangat independen dalam melakukan survei.

Peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas menjelaskan untuk mengetahui kredibilitas sebuah lembaga survei yang baik, ada empat hal perlu diperhatikan, yakni reputasinya, sumber daya manusianya, metodologinya, dan proses surveinya.

“Seberapa menyesatkan atau tidak menyesatkan (sebuah hasil survei), itu tergantung seberapa baik kredibilitas lembaga survei menjalankan itu dan melaporkannya. Karena kita juga tidak menolak ada juga (lembaga survei) yang curang. Tidak melakukan survei dengan baik tapi melaporkan seolah-olah melakukan survei. Itu yang membuat kebingungan di tengah masyarakat,” kata Sirajuddin.

Sementara Profesor Musni Umar, ahli sosiologi sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta, secara gamblang menyatakan dirinya termasuk orang yang resah dan tidak mempercayai hasil-hasil survei yang ada selama ini. Menurutnya hampir tiap hari turun di lapangan dan bertanya dengan orang-orang dia temui. Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendapatkan data.

Dari fenomena yang dilihatnya di lapangan, tampak jelas bahwa hasil wawancara yang dilakukannya secara langsung tidak mencerminkan hasil survei yang ada. Oleh karena itu ia tidak mempercayai hasil-hasil survei yang ada selama ini terkait pemilihan presiden 2019. Dia lebih meyakini hasil wawancaranya dengan masyarakat yang jelas merupakan pemilih sesungguhnya. Musni mengklaim cara-cara semacam itu dia buktikan ketika kampanye pemilihan presiden 2004 sampai Jokowi ikut dalam pemilihan presiden 2014.

Musni pun mengungkapkan alasannya meragukan hasil-hasil survei yang ada soal peluang Prabowo dan Jokowi memenangkan pemilihan presiden April mendatang.

“Pertama, yang melakukan survei itu tidak ada netralitasnya. Untuk kita mengatakan survei itu bias atau benar kalau netral. Kedua, lembaga survei rata-rata di sini dibiayai oleh yang membiayai, jadi tidak mandiri. Siapa yang mendanai, tentu lembaga survei itu akan mengiukuti apa maunya yang mendanai,” ujar Musni.

Musni menegaskan survei-survei yang tidak layak dipercaya itu tidak boleh dibiarkan terus menerus. Sebab mereka mencoba mengarahkan masyarakat untuk menyukai atau memilih salah satu calon pasangan.

Dia menambahkan pada awal Januari tahun ini dirinya telah menulis analisis sosiologis bahwa pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan memenangkan Pemilihan Presiden 2019. Musni mewawancarai masyarakat dan menganalisa fenomena lautan masyarakat setiap kali Prabowo atau Sandiaga berkunjung ke suatu daerah dan itu tidak tercermin dalam hasil-hasil survei.

Musni mencontohkan dari hasil penelitian lapangannya di Jakarta hampir seratus persen masyarakat menginginkan ganti presiden. Dari hasil wawancaranya dengan masyarakat Bogor, hasilnya juga sama: masyarakat ingin Prabowo-Sandiaga yang menang.

Karena itulah, Musni sudah meminta lembaga penelitian di Universitas Ibnu Chaldun melakukan survei selama Januari dan Februari di Jakarta mengenai elektabilitas pasangan Prabowo-Sandiaga dengan duet Jokowi Ma’ruf-Amin. Hasil survei ini akan diumumkan ke publik pada 1 April mendatang.

Politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait menyatakan sepakat untuk mengetahui valid atau tidaknya sebuah survei maka harus melihat rekam jejak lembaga survei yang dimaksud. Dia menambahkan survei adalah potret keadaan pemilih saat survei dilakukan, jadi hasilnya juga bisa berubah di lain waktu ketika survei dilakukan lagi.

“Percaya atau tidak (terhadap sebuah hasil survei) setuju saya rekam jejak, meotodologi yang disampaikan. Mohon maaf, dokter kalau yang kredibel, walaupun kita bayar, kalau kita sakit, dibilang sakit, nggak bisa dibilang kita sehat. Kalau pengacara yang profesional, yang berintegritas, kalau salah, salah, benar, benar,” tutur Maruarar.

Menurut politikus dari Partai Gerakan Indonesia Raya Fadli Zon, saat ini ada lembaga survei yang juga menjadi lembaga konsultan politik. Mestinya tidak boleh ada lembaga surveui yang merangkap pula sebagai lembaga konsultan politik.

Fadli menekankan jika ada lembaga survei yang juga bertindak sebagai lembaga konsultan politik, maka akan ada konflik kepentingan. Lembaga survei semacam itu akan menjadikan survei sebagai alat propaganda, alat kampanye dari yang membayar lembaga survei tersebut sebagai konsultan politik.

Dia mengklaim saat ini banyak lembaga survei di Indonesia merangkap menjadi konsultan politik. Lembaga survei semacam ini bukan lembaga survei yang independen dan tidak pernah menyatakan diri sebagai lembaga independen.

“Dia sebetulnya diam-diam sudah punya kolaborasi dengan salah satu kontestan apakah di pilkada, pilpres atau dengan partai poltik dan mereka juga mendapatkan kontrak untuk berapa kali survei dan kemudian menjadi konsultan politik sekaligus. Inilah yang membuat lembaga survei itu, tidak semua, bisa menjadi predator demokrasi, predator politik. Mereka ini menjadi mafia survei,” kata Fadli.

Menurut Fadli,lembaga survei yang merangkap konsultan politik tersebut bukan melakukan pekerjaan untuk menggambar satu gambaran publik yang sesungguhnya, tetapi lebih pada apa yang diharapkan oleh yang membayarnya. Fadli menegaskan lembaga survei merangkap konsultan politik dapat membahayakan demokrasi.

Fadli mencontohkan hasil survei mengenai pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta pada 2017. Hasil survei SMRC menempatkan elektabilitas Anies Baswedan-Sandiaga Uno 47,90 persen, Charta Politika (44,8 persen), Indikator (48,2 persen). Ternyata hasil resminya, duet Anies-Sandiaga memenangkan pemilihan gubernur Jakarta dengan raihan suara sebanyak 57,9 persen.[fw/em]

Sumber : VOA Indonesia