Pilpres 2019, Adu Do’a sampai Adu Pinalti

Oleh : Muqaddim,S.Sos Mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Nasional Jakarta

Kurang lebih sebulan lagi, Pemilu 2019 akan dihelat. Tak heran para tim sukses semakin gencar melakukan lobi-lobi politik ke segala penjuru. Yang terbaru, Ustad kenamaan Abdul Somad muncul di berbagai media bahwa ia sekarang sedang dalam proses lobi oleh salah satu tim sukses capres yang akan bertarung pada 17 April nanti. Tapi bukan itu yang menajdi sorotan saya. Yang menarik bagi saya menyoal kontestasi pilpres kali ini adalah strategi kedua kubuh untuk mendapatkan dukungan rakyat.

Tidak bisa dipungkiri, pengaruh umat islam dalam setiap percaturan politik tanah air memang sangat signifikan. Bahkan kenyataan itu sudah berlangsung sejak negara ini belum lahir. Pada zaman penjajahan misalnya, Umat islam sudah menjadi salah satu ancaman bagi Belanda. Sebagaimana menurut Clifford Geertz, beberapa pemberontakan dan pergerakan besar  di tanah air dilakukan oleh kalangan muslim yang dimotori oleh para haji dan ulama. Pemberontakan dan pergerakan itu yakni, pemberontakan kaum Padri di Sumatra, pemberontakan Diponegoro di Jawa, pemberontakan Banten di Jawa Barat, dan pemberontakan Aceh.

Pada pilpres 2019 ini, nampaknya pengaruh umat islam semakin besar. Sepintas pengaruh islam dalam kontestasi politik tanah air nampak semakin jaya. Namun di sisi lain, minimnya pengaruh partai islam di parlemen maupun di urutan elektabilitas partai politik di berbagai lembaga survey justru menunjukan bahwa partai politik yang bernafaskan islam belum bisa bersaing dengan partai-partai non basis islam. Kenyataan ini tidak sejalan dengan peran umat islam dalam kontestasi politik tanah air, hal ini jika dilihat dari banyaknya ulama yang dilibatkan kedua pasangan calon dalam kontestasi politik menjelang pemilu 2019 ini. Kedua pasangan calon selalu menampilkan ulama di hadapan publik sebagai simbol keislaman mereka. Tidak hanya itu, kedua pasangan calon bahkan saling mengklaim diri sebagai yang paling islami.

Kampanye-kampanye politik yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung juga kerap kali menjadikan ulama atau identitas islam lainnya sebagai alat paling ampuh untuk meraup dukungan. Misalnya pasangan 01, Jokowi-Amin Selain mengharapkan doa kemenangan oleh ulama Mbah Moen terkabulkan, secara tidak langsung publikasi doa Mbah Moen juga diharapkan menjadi daya tarik tersendiri sebab Jokowi-Amin di doakan oleh ulama besar.

Lain lagi di pihak 02, Prabowo-Sandi melalui Munajat 212 yang memang pada dasarnya bukan acara politik, namun di momen pemilu saat ini apapun yang dilakukan baik capres, cawapres maupun tim sukses akan tetap mendapat tanggapan negatif oleh publik bahwa timses 02 memanfaatkan munajat 212 sebagai ajang kampanye. Ditambah lagi beredarnya video di media sosial tentang orasi salah satu tim sukses yang menyuarakan dukungan terhadap pasangan 02 Prabowo-Sandi. Selain itu, do’a kontroversial Neno Warisman juga tidak luput dari perbincangan public di media sosial.

Tentunya, adu kuat do’a Mbah Moen dengan do’a Neno Warisman (walaupun tidak menyebutkan doa untuk Prabowo-Sandi) baik adu kuat secara vertikal maupun secara horizontal dalam hal ini mendapatkan dukungan dari rakyat menjadi salah satu yang menarik dalam kontestasi politik kali ini. Meskipun do’a Neno Warisman telah diklarifikasi oleh dirinya sendiri di acara ILC Tv One, namun sebagian publik tetap akan menilai bahwa do’a Neno Warisman itu masih ada kaitannya dengan pilpres.

Fenomena yang kedua yang juga tidak kalah menarik adalah strategi kedua pasangan untuk mencari-cari kesalahan pihak lawan. Kesalahan-kesalahan yang dimaksud berupa kesalahan ucapan, data, bahkan tingkah laku para pasangan calon. Seolah ada tim khsusus pencari kesalahan yang dimiliki kedua pasangan calon. Coba kita amati, setiap ada kesalahan ucapan maupun kesalahan data yang dikatakan oleh kedua pasangan calon tersebut sangat cepat menjadi bahan perbincangan publik. Kesalahan data misalnya dilakukan oleh Jokowi pada saat debat diadu dengan ucapan Prabowo yang dinilai tidak memahami istilah “unicorn”.

Tingkah laku calon juga menjadi sasaran tembak publik yang doprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak diketahui yang saya istilahklan sebagai tim khsusus pencari kesalahan. Misalnyan kegiatan potong rambut yang dilakukan di bawah pohon di depan publik di tengah-tengah kunjungan Jokowi ke Garut. Di pihak Prabowo juga tidak luput dari sasaran tembak oleh public pada saat Prabowo berjoget di acara debat Pertama Pilpres pada 17 Januari 2019.

Artinya, secara tidak langsung pilpres kali ini menjadi ajang pertarugan doa dan pertarungan kesalahan siapa yang paling fatal sebagai strategi para tim sukses. Strategi semacam itu tentunya tidak tepat karena bukannya strategi meyakinkan public dengan visi misi para calon, malah saling mencari kesalahan.

 

Foto Utama:VOA Indonesia