Penulis: Wahyudi Arifin, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Sosiologi Agama
Pemukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota besar yang ada di Indoneisa bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Ada beberapa hal tentang permukiman kumuh yaitu, pertama, kondisi fisik antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik.
Kedua, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan pemukiman kumuh antara lain mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya; antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga, Dampak kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan keseluruhannya.
Kawasan permukiman kumuh dianggap sebagai penyakit kota yang harus diatasi, pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan permukiman, sedangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemampuan pengelolaan kota akan menentukan kualitas permukiman yang terwujud. Permukiman kumuh adalah produk pertumbuhan penduduk kemiskinan dan kurangnya pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan dan menyediakan pelayanan kota yang memadai.
Kondisi kota-kota di indonesia yang berkembang dan berfungsi sebagai pusat-pusat kegiatan mengundang penduduk daerah sekitarnya untuk datang mencari lapangan kerja dan kehidupan yang lebih baik. Mereka yang bermigrasi ke perkotaan relatif meningkat dari tahun ke tahun, mereka ini berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dan sebagian dari mereka datang tanpa tujuan yang jelas.
Di lain pihak kota belum siap dengan rencana sistem perkotaan guna mengakomodasi perkembangan kegiatan perkotaan dalam sistem rencana tata ruang kota dengan berbagai aspek dan implikasinya termasuk di dalamnya menerima, mengatur dan mendayagunakan pendatang. Akibatnya terjadi aktivitas yang sangat heterogen dan tidak dalam kesatuan sistem kegiatan perkotaan yang terencana, mengakibatkan terjadinya kantong-kantong kegiatan tidak saling menunjang, termasuk dengan munculnya permukiman yang berkembang di luar rencana sehingga terbentuklah permukiman-permukiman kumuh.
Kawasan kumuh diketahui menjadi inkubator penyakit karena ditempati oleh penduduk dengan kepadatan tinggi, permukiman kumuh memiliki berbagai faktor resiko yang dapat mengakselerasi persebaran infeksi.
Adanya pandemi covid-19 yang tersebar melalui nafas, bicara, batuk, dan bersin tentulah menjadi suatu tantangan tersendiri bagi permukiman kumuh yang cenderung memiliki ruang gerak sempit. Permukiman kumuh menjadi objek ancaman persebaran COVID-19 oleh karena itu anjuran pemerintah untuk tinggal di rumah sulit dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh karena tuntutan untuk mencari uang agar bertahan hidup jauh lebih besar.
Di Indonesia anjuran physical distancing guna mencegah persebaran pandemi COVID-19 khususnya di kawasan kumuh juga sulit untuk dilakukan, kawasan permukiman kumuh tersebut faktanya masih menggunakan fasilitas itu secara bersama-sama seperti WC yang masih digunakan banyak penghuni keluarga dan lain sebagainya, kondisi ekonomi yang kian memburuk juga mau tak mau mendorong masyarakat di area tersebut untuk tetap keluar rumah dan mencari penghidupan.
Upaya pencegahan persebaran pandemi COVID-19 sesungguhnya membutuhkan langkah pendekatan partisipatif dengan mempertimbangkan berbagai aspek secara holistik mulai dari sosial, budaya, kesehatan, hingga ekonomi. Anjuran stay at home tentu sulit dilakukan bagi masyarakat di kawasan permukiman kumuh yang masih mencari pendapatan dari hari ke hari untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan. Sehingga dibutuhkan tindakan sosial untuk menanggulangi dampak pandemi COVID-19. Membutuhkan dukungan ekonomi yang memadai khususnya di ruang paling rentan seperti permukiman kumuh.
Dalam hal ini ekonomi pembangunan merekomendasikan adanya bantuan tunai langsung bagi masyarakat miskin sebagaimana langkah tersebut dilakukan oleh negara-negara maju. Di samping itu bagi masyarakat miskin agar bisa mengakses air, makanan, dan sanitasi juga harus diprioritaskan sebab ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan dasar paling esensial dalam menghadapi pandemi COVID-19 saat ini.
Anjuran stay at home merupakan suatu kemewahan yang tidak bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, sehingga kerja sama antara seluruh pihak baik pemerintah, swasta, organisasi, hingga masyarakat juga sangat diperlukan sebagai modal sosial untuk menciptakan komunitas yang tangguh terhadap pandemi COVID-19 terutama di permukiman kumuh yang rentan.