Oleh Adi Arwan Alimin
DESA kami akhir-akhir ini ditelikung kabar angin. Entah siapa yang pertama kali menyebarkan atau menghembuskannya, hingga keberadaan seorang perempuan muda yang membangun pondok dari sisa-sisa kayu tebangan di pinggir hutan, memenuhi kampung. Segera saja semua orang hendak bertandang ke sana. Mereka ingin menuntaskan peristiwa yang dibaluri sejengkal demi sejengkal rasa penasaran itu.
Luapan kata mengenai perempuan berambut panjang yang terlihat mengumpulkan daun-daun jati dan ranting-ranting itu membuat gelembung seteru warga yang membingkai jelaga dalam kumparan selisih. Kumpulan pepohonan meraksasa hingga sebesar betis anak-anak tak lagi melompong, ketika sesosok manusia yang datang dari ujung manakah mengisi beberapa depa tanahnya yang penuh ilalang setinggi pusar.
Langit-langit ketidaktahuan terus melengkung tapi tak ada yang berani memulai. Tak ada seorang pun yang berani datang ke sana setelah kabar tentang tamu di hutan jati itu merangsek kemana-mana. Anak-anak dan remaja tanggung pun hanya mampu berbisik-bisik, seakan takut pembicaraan mereka disapu angin dan sampai ke telinga perempuan itu. Orang yang lebih dewasa pun masih mengunci diri. Kali ini diam sepertinya benar-benar sebuah pilihan sementara.
“Jangan-jangan perempuan itu…” tiba-tiba sebaris kalimat menyayat gelita yang dikatup tabu.
“Husss, jangan keras-keras, nanti perempuan itu dengar semua isi mulutmu,” sergap seorang pemuda yang berkalung sarung palekat ketika teman duduknya memecah sunyi malam itu. Yang menegur tadi melototkan mata, yang dipandangi demikian segera mengatupkan bibirnya.
“Yayaya…” ujarnya hampir saja melanggar pantangan.
***
“Apa yang mesti kita lakukan sekarang?” Seseorang yang tampak berusia lebih tua memulai rapat kecil di poskamling. Puluhan pasang mata memenuhi posko keamanan dengan kentongan ukuran tak biasa yang dibuat khusus dari kayu jati itu. Seluruh pasang mata dan telinga siap-siap menunggu dan menanti apa yang akan menjadi keputusan rapat ketemu lutut. Kening saling beradu membentuk lembah cekung yang ditumbuhi keingintahuan yang memanjang sepanjang hari dalam degup pasai.
“Pak Kades, sepertinya kita mesti mengirim satu atau dua orang untuk mencari tahu keberadaan perempuan muda itu. Setelah itu kita mendatanginya untuk menanyakan maksud kedatangannya di desa kita ini. Bila langsung berombongan ke sana, rasanya kurang pas pak kades,” usul Puaq Kadir yang merupakan kepala dusun utara di desa ini. Beberapa warga yang hadir manggut-manggut tanda setuju.
“Saya kira itu usul yang baik, tapi siapa yang akan mewakili kita ke sana?” Sambut kepala desa. Ia mengitari satu demi satu raut muka warganya dengan pandangan penuh wibawa. Dan akhirnya, kades memilih orang yang terbaik…
“Puaq Kadir saja. Silakan menunjuk siapa yang akan menemani puaq ke sana malam ini,” kata pak kades mantap.
Yang ditunjuk langsung berdiri, dan mencolek seorang pemuda untuk menemaninya menembus malam. Mereka berdua segera memanjangkan langkah diiringi tatapan warga yang berharap dua lelaki kampung itu akan kembali dengan kabar yang menenangkan. Puaq yang satu ini memang lelaki pilih tanding di kampung kami, juga di kampung-kampung tetangga. Sebelumnya ia mengintai keberadaan perempuan itu untuk memastikannya di depan punggawa desa. Dari celah-celah dedauan yang membelukar puaq telah melihat dari dekat perempuan itu, tetapi ia menyurutkan langkah untuk sekadar menumpangkan basa-basi. Tak baik berusaha menemui perempuan itu seorang diri, pikirnya, sebab desas-desus terus mendesis deras ke alas kampung.
Warga memilihnya sebagai kadus antara lain karena ia sosok meyakinkan untuk menjadi benteng dari ketakutan yang sewaktu-waktu menerkam isi dusun. Maklumlah pencuri ternak atau gerombol rampok masih kerap melintasi desa kami. Sejak puaq memimpin dusun kami, damailah warga dalam tidur yang panjang setiap malam. Dengar-dengar puaq tidak hanya dikenal pemberani, tetapi juga memiliki ilmu tinggi.
Satu jam. Dua jam menunggu. Hingga waktu yang ditentukan terlewati, Puaq Kadir dan Basri, pemuda yang menemaninya tak juga muncul. Jalan desa yang membujur ke rimba itu tetap saja lengang dibalut gulita. Keduanya serasa menghilang begitu saja dalam pandangan terakhir mereka beberapa waktu lalu. Suara serangga malam yang nyaring mengusik malam seolah ikut meredam beku yang bertiup semilir dari hutan larangan.
Wajah kepala desa sampai sejauh itu belum berubah warna. Suasana yang remang-remang di areal poskamling membuat perubahan air mukanya tak bisa dibaca warga. Ia yakin tak keliru menunjuk puaq untuk sekedar menyambangi perempuan yang kini membangun pondok kecil di huma, di pinggir kampung mereka.
“Bagaimana pak kades. Apa saya harus menyusul mereka?”
Lelaki yang lebih bongsor, dengan pakaian hijau pupus bertulis linmas didadanya menawarkan keberanian. Tapi yang diajak bicara belum merespon pria yang selama ini dikenal sebagai aparat keamanan desa. Kades tampak menimbang-nimbang sesuatu, sesungguhnya tidak berat, mungkin kades hanya ingin menunjukkan bahwa ia memiliki hak untuk menerima atau menolak masukan seorang bawahannya.
Namun usul hansip yang saban hari menemaninya mengontrol isi desa lamat-lamat ikut menambah kerutan didahinya. Dua jam merupakan durasi yang terbilang lama untuk sebuah perjalanan ke pinggir batas desa. Tapi ia enggan membuka keruwetan itu di depan banyak orang yang saban waktu menaruh hormat kepadanya.
“Kita tunggu saja beberapa menit lagi,” kata kades kemudian sambil mengisap kreteknya dalam-dalam menuju paru-parunya. Asap rokok dihembuskan dari bibirnya yang kecoklatan membentuk sebingkai abtraksi yang segera buyar dihempas udara malam. Hanya bunyi tembakau terbakar yang terdengar dan segera diruapkan angin dalam tiris embun yang diam-diam turun.
Sesekali ia mendongakkan wajah ke ujung jalan yang diterpa sapuan bulan mati. Bola matanya ikut terpicing bila menolehkan pandangan ke arah dimana puaq Kadir dan Basri pergi. Kades seakan ingin mengurai butir-butir malam yang kian menuju dini hari dengan sorot matanya yang kerap dikedip-kedipkan. Tapi retinanya tak lagi sekuat sewaktu muda dulu. Masa riang yang telah tuntas tiga dekade silam.
Sejak kedatangan perempuan muda itu di pinggir desa ini beberapa hari lalu, semua warga, khususnya ibu-ibu tiada pernah berhenti membicarakannya. Kegelisahan yang memuncak hingga ke meja makan, ruang keluarga, tempat tidur dan merembes ke warung-warung itulah yang membuat sang kepala desa mengumpulkan aparatnya untuk rapat mendadak di balai desa. Kampung yang sediakala tidak pernah geger gosip itu seperti memasuki suasana siaga satu atau semacamnya. Pikiran orang-orang menjadi kalis.
Kaum Hawa-lah yang mendesak kaum Adam hingga kedatangan perempuan yang tak mereka kenal itu menjadi kabar paling penting beberapa hari. Udara kampung kami benar-benar bergelung dalam satu aroma; penuh kekuatiran atau disesaki gelembung kecemasan. Mungkin juga kegelisahan kaum ibu itu diiringi cemburu sebab cerita yang sampai ke telinga mereka, perempuan itu masih muda, cantik dan gemar bersenandung.
“Segera beritahu pak RT, agar pak dusun segera mengambil inisiatif, supaya kepala desa tidak terlambat mengambil sebuah keputusan. Kalau ada apa-apa, bahaya nanti, desa kita ini pasti akan kedatangan wartawan surat kabar dan televisi. Bapak mau kampung kita ini geger di televisi gara-gara kedatangan perempuan yang tak jelas asal-usulnya itu,” seperti inilah protes para ibu-ibu yang dialamatkan ke setiap gendang telinga suami mereka di rumah.
Pantaslah bila kades yang saat pilkades lalu lebih banyak dipilih kaum perempuan itu segera mengeluarkan perintah penyelidikan ala desa kami. Sebagai pimpinan wilayah yang dipilih langsung kejumawaan kades pun meninggi melewati ubun-ubunnya yang ramai uban. Dasar surat undangan yang ditebarkan ke para kadus dan tomas untuk menghadiri rapat di balai desa digarisbawahi dengan klasifikasi mendesak. Intinya desa penghasil kemiri, sawi, kambing dan kacang-kacangan itu dalam situasi emergensi.
Jelang rapat lanjutan di poskamling yang digelar usai shalat Isya, siang sebelumnya, beberapa kaum ibu juga mendatangi pak kades. Bersama nyonya kepala desa, yang juga kelompok pembina dasa wisma, utusan itu berhasil membuat kepala desa kami mengangguk-angguk meski dari jauh tak jelas terdengar apa yang disampaikan ibu-ibu di depannya. Hansip Umar yang ditanya pun tak bisa menangkap gerutu yang bersahutan-sahutan dalam demo damai tanpa ban bekas berasap.
***
“Perempuan itu hanya meminta kita memberi waktu beberapa hari saja untuk tetap berada di pondoknya,” sahut Puaq Kadir saat menjawab pertanyaan kades, dan rasa penasaran warga.
“Lagi pula, ia ternyata tidak sendirian,” sambung Puaq Kadir.
“Maksudnya?”
“Ia ditemani bayi yang mungkin baru berusia tak lebih dari 30 hari pak.”
“Hah! Bagaimana bisa?” Sontak kepala desa begitu mendengar laporan kadusnya.
Gemuruh suara yang tidak terlalu keras juga menyembul dari warga.
“Kalau begitu, kita harus mengajak perempuan itu menginap di salah satu rumah warga. Bila tahu begini, mengapa ia tak segera diajak ke sini bersama kalian,” ungkap kepala desa gundah. Apa yang membelit pikirannya tentang prasangka dan kekuatiran sebagian warganya yang lain membuat baris kecemasan segera bergumpal di wajahnya.
“Kita jemput saja perempuan itu,” ajak kepala desa sambil menarik resleting jaket kulit yang dibelinya saat ikut dalam rombongan studi banding ratusan kades bersama bupati ke pulau Jawa, jelang pilkada tahun lalu.
“Kami sesungguhnya telah mengajaknya ke sini, tapi ia tidak mau. Dia hanya meminta waktu beberapa hari saja untuk berada di sana, setelah itu ia akan pergi, katanya,” timpal Basri seraya melirik kadus Kadir yang tengah menyeruput secangkir kopi.
Kalimat itu tak menyurutkan kehendak kepala desa. Ia beranjak dari kursi plastik biru yang menopang tubuhnya yang tambun.
“Panggil bidan di pustu untuk menemani kita ke sana, siapa tahu bayi perempuan itu membutuhkan pertolongan. Kita bisa disesali banyak orang bila perempuan itu mendapat kesulitan karena ketidaktahuan kita bersama. Orang di kecamatan bisa-bisa menilai kades kalian tidak becus, apalagi ia ternyata bersama seorang balita,” kali ini suara kades kian menunjukkan perasaan penuh sebagai penanggung jawab desa yang berada belasan kilometer dari trans Sulawesi itu.
Dalam hitungan langkah yang terbilang sangat cepat puluhan pasang kaki telah berada di sekitar pondok yang belum jadi itu. Hutan di pinggir desa amat mencolok dan terlalu menyeramkan bagi keberadaan seorang perempuan muda yang hanya ditemani bayi berumur satu purnama. Beberapa pemuda kampung saja terlihat berdesak-desakan di satu titik obor karena gelapnya hutan jati. Selama ini tak sembarang orang yang berani melintas ke tempat itu.
Tetapi perempuan yang hendak dijemput rupanya tak lagi berada di sana. Puaq kadir, dan Basri hanya berusaha mengais-ngais sisa bara unggun api yang sekaligus menjadi tungku pemilik pondok ini.
“Mungkin pergi ke kampung sebelah,” tebak Basri saat kepala desa telah berdiri di sisinya.
“Mungkin ia langsung berkemas ketika puaq meninggalkannya,” kalimat orang nomor satu di desa kami itu mengapung bersama asap kecil yang berasal dari sisa api. Pondok berukuran dua kali tiga meter itu tak menyisakan satu benda pun, selaian setumpuk koran yang menjadi alas tidur dan bungkus mi instan yang bertumpuk di tas plastik.
“Bagaimana bisa ia melewati hutan jati ini hanya dengan seorang bayi mungilnya. Terlalu berbahaya,” ada kegusaran yang diam-diam menyelinap disela-sela kalimat luruh kepala desa. Ia sepertinya tak lagi di bawah pengaruh kaum ibu-ibu yang mendesaknya untuk mengusir tamu tak diundang itu jauh-jauh. Bergunung-gunung simpatinya meninggi.
Ilalang yang tumbuh di hamparan hutan jati desa tak mampu mengabarkan hal yang lebih banyak kepada mereka yang masih mengikuti jejak alas kaki yang mengarah ke utara. Ke arah kampung sebelah yang dibatasi sungai yang meliuk deras. Batang-batang ilalang yang patah karena diinjak perempuan itu meninggalkan penyesalan mendalam, tak hanya di sanubari kepala desa kami, tetapi juga sejumlah orang yang hanya mampu menggelengkan kepala ketika melingkar di tempat itu.
Tak ada suara berarti yang terdengar ketika para lelaki kampung kembali memasuki bilik di rumah-rumah mereka jelang azan Subuh. Di rumahnya, kepala mereka seperti dikalungi sesal yang memberati dadanya, mengapa membiarkan seorang ibu muda itu pergi entah kemana.
***
“Ada kabar baru?”
“Tidak apa pak,” sahut puaq Kadir saat ia bertemu kepala desa di ujung kampung.
“Orang-orang di desa sebelah mengatakan bahwa semalam mereka hanya mendengar suara perempuan yang bersenandung, layaknya menidurkan bayi, saat melewati jalan desa,” lanjutnya.
“Kira-kira kemana perempuan itu?”
Puaq Kadir yang berdiri di samping kepala desa kami, tak lagi punya jawaban. Ia juga hanya mendenguskan keprihatinan. Sementara kepala desa yang dibelit rasa yang tak bisa diterakan dalam kalimat baru itu, mematung di tapal batas. Perempuan di tengah ilalang, di pinggir hutan jati itu memaksanya memunguti keluh yang tak juga bisa hilang.
“Puaq, kita terlambat…” Mereka lalu pulang dengan wajah lebih banyak ke tanah. (*)
Akhir malam, 18 Februari 2010.
*Puaq atau berarti paman dalam bahasa Mandar