Jakarta, Kemenristek – Beberapa waktu yang lalu topik mengenai potensi gempa megathrust yang kemungkinan menyebabkan tsunami di Pantai Selatan Pulau Jawa menjadi perhatian publik. Potensi kejadian tersebut merupakan hasil penelitian potensi tsunami di Pantai Selatan Jawa yang dilakukan oleh tim peneliti dari berbagai institusi.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan bahwa riset yang dilakukan tersebut adalah untuk mengetahui suatu skenario (kondisi worst case ) dimana hal tersebut diperlukan untuk antisipasi, yaitu peningkatan kesiapsiagaan dan usaha mitigasi.
“Dari segi keilmuan, sampai hari ini belum ada metode atau teori yang bisa memprediksi apakah suatu gempa akan terjadi, yakni kapan, di mana, dan berapa kedalaman serta besarnya. Sehingga riset yang dilakukan Prof. Sri Widiyantoro bersama tim adalah agar kita lebih waspada dan antisipatif terhadap kemungkinan bencana tersebut,” ungkap Menristek/Kepala BRIN pada agenda Keterangan Publik ( Public Expose) Risiko Tsunami di Pantai Selatan Pulau Jawa melalui telekonferensi, melalui siaran pers.
Menteri Bambang menambahkan, kajian tersebut bukan bertujuan untuk menimbulkan kepanikan di masyarakat, namun ditujukan untuk mengendepankan upaya mitigasi terhadap potensi risiko bencana di Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Kemenristek/BRIN terus berupaya mendukung manajemen mitigasi dengan membangun kapasitas sains dan teknologi kebencanaan melalui penyiapan SDM, penyediaan sarana dan prasarana riset, dan penyelenggaraan riset bidang kebencanaan demi menghasilkan dan mengelola pengetahuan (knowledge management) riset-riset kebencanaan tersebut.
“Pemerintah sudah membuat sistem yang disebut sebagai Indonesia Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) yang dikembangkan BPPT dan beberapa institusi lainnya ada yang dalam bentuk buoy system yang mampu mendeteksi potensi tsunami dalam hitungan detik sehingga informasi bisa langsung didapatkan sebagai upaya mitigasi bencana sedini mungkin. Kedua ada sistem cable yang salah satunya sudah disiapkan di selatan Pulau Jawa khususnya di Selat Sunda,” tambah Menteri Bambang melalui siaran pers.
Peneliti ITB Sri Widiyantoro menjelaskan bahwa riset yang dilakukan tersebut diilhami dari adanya kajian sebelumnya oleh Ron Harris dan Jonathan Major pada tahun 2016 berjudul ’Waves of destruction in the East Indies: the Wichmann catalogue of earthquakes and tsunami in the Indonesian region from 1538 to 1877’ yang memberi catatan bahwa ditemukan tsunami deposit di dekat daerah Pangandaran, yang diperkirakan terjadi akibat gempa cukup besar pada tahun 1584-1586.
Berdasarkan hal itu maka dilakukan riset multidisiplin oleh ITB bersama institusi terkait untuk mengetahui sumber megathrust sehingga dapat dipetakan.
“Hasil simulasi selama 300 menit yang diturunkan dari model sumber gempa berdasarkan hasil inversi data GPS, tidak hanya dilakukan untuk 3 skenario, namun dipilih yang paling representatif dan bahkan untuk keperluan mitigasi ditampilkan skenario yang paling worst case,” jelas Sri Widiyantoro melalui siaran pers Kemenristek.
Berdasarkan hasil simulasi selama 5 jam didapatkan pada skenario pertama di wilayah sebelah barat Pulau Jawa, diprediksi tinggi tsunami khususnya pantai selatan Jawa maksimum 20 meter dimana semakin ke timur akan semakin kecil karena sumbernya berada di sebelah barat.
Skenario kedua dikondisikan pusat gempa berada di sebelah timur, maka tinggi tsunami di sebelah timur akan lebih tinggi dari wilayah barat. Selanjutnya skenario ketiga atau skenario paling buruk dimana gempa terjadi secara bersamaan di barat dan timur, maka diprediksi tinggi tsunami maksimum 20 meter di sebelah barat, 12 meter di sebelah timur, dan di antara wilayah tersebut tinggi rata-ratanya mencapai 4,5-5 meter.
“Hal ini yang sebenarnya menjadi pemberitaan belakangan ini, jadi sebenarnya riset yang dilakukan sangat multidisiplin namun ujungnya adalah suatu skenario jika megathrust itu terjadi. Tim kami banyak melakukan skenario lain, puluhan mungkin seratus skenario. Tapi sekali lagi tentu untuk keperluan mitigasi ditampilkan worst case scenario seperti ini,” jelas Sri Widiyantoro.
Danny Hilman ahli Geoteknologi LIPI sekaligus Kepala Pusat Studi Gempa Bumi Nasional menyampaikan bahwa potensi tsunami akibat gempa megathrust sudah pernah disampaikan pada konfrensi tahun 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat. Dipaparkannya bahwa telah diketahui adanya celah seismik di Mentawai dan di Jawa yang menunjukkan ada potensi megathrust di Selatan Jawa yang juga seperti di Mentawai dengan dengan tsunami yang berpotensi besar.
“Jadi sejak 7 tahun yang lalu sudah pernah disampaikan, sehingga penelitian ini adalah update dari hasil yang lama dengan riset yang kini lebih mendalam. Sekarang sudah ada konfirmasi selain ada di Mentawai, ternyata di selatan Jawa memang ada celah seismik,” papar Danny Hilman.
Abdul Muhari dari BNPB menyampaikan bahwa gejala alam yang mendahului tsunami terkait dengan karakteristik gempa bersifat unik, tidak sama antara satu dengan lainnya, sehingga kita tidak bisa memberikan karakteristik secara pasti gempa seperti apa yang pasti akan diikuti tsunami.
“Pengalaman kita yang bagus itu ada di Mentawai pada tahun 2007, ada gempa besar 8.6 (magnitudonya) guncanganya sangat kuat tetapi tsunaminya sangat kecil. Tapi tahun berikutnya 2010 gempanya lemah, tapi tiba-tiba 8 menit kemudian tsunami 12-15 meter menghantam,” ungkap Muhari.
Lebih lanjut Muhari menyampaikan untuk kesiapsiagaan masyarakat, bahwa gempa yang diikuti tsunami biasanya pelepasan energinya agak lama.
“Jika masyarakat merasakan guncangan gempa, apakah itu lemah ataukah itu keras tapi guncangannya berasa menerus lebih dari 20 detik. Itu adalah saat yang tepat untuk memulai evakuasi,” terang Muhari lebih lanjut.
Keterangan publik ini dimoderatori oleh Plt. Staf Ahli Menristek Bidang Relevansi dan Produktivitas Ismunandar dan dihadiri rekan tim peneliti Prof Sri Widiyantoro, Plt. Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Abdul Muhari, Tim Peneliti ITB Endra Gunawan, Pepen Supendi dari BMKG, rekan-rekan jurnalis serta tamu undangan dan peserta lainnya yang hadir melalui telekonferensi daring.
Sumber: Siaran Pers Biro Kerja Sama dan Komunikasi Publik Kemenristek/BRIN