Penanggulangan Radikalisme-Terorisme Menurut Penulis Buku ASEAN Episentrum Pertumbuhan Dunia

Sumber foto: https://asean2023.id/
Sumber foto: https://asean2023.id/

MANDARNESIA.COM, Jakarta — Persoalan radikalisme dan terorisme sampai saat ini masih relevan untuk dibahas. Tak terkecuali dalam buku “ASEAN Episentrum Pertumbuhan Dunia” yang diinisiasi Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia melalui platform ASEAN Writers Network yang diterbitkan pada Desember 2023.

Country Director pada International Association for Counterterrorism and Security Professional (IACSP) Indonesia Rakyan Adibrata turut menjadi penulis dalam buku tersebut.

Dalam tulisannya, “Penanggulangan Terorisme di Indonesia dan Dampaknya di Level ASEAN”, Rakyan menjelaskan bahwa pada 20-23 Agustus 2023 Indonesia menjadi tuan rumah sekaligus koordinator pertemuan AMMTC (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime) ke-17 di Labuhan Bajo Nusa Tenggara Timur.

Pertemuan tersebut membahas 10 isu prioritas kejahatan transnasional, yaitu terorisme, cyber crime, penyelundupan senjata, perdagangan satwa liar dan kayu ilegal, perdagangan obat-obatan terlarang, pencucian uang, kejahatan ekonomi internasional, pembajakan laut, penyelundupan manusia, dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Menurut Rakyan, khusus penanganan terorisme Indonesia, telah banyak program dilaksanakan, mulai dari hulu sampai hilir. Misalnya dari hulu, sosialisasi terhadap wawasan kebangsaan yang sering dilakukan oleh BNPT dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Rakyan juga mengeksplorasi program Moderasi Beragama yang dijadikan program utama Kementerian Agama dalam melakukan pencegahan pemahaman radikal. Termasuk terbitnya Perpres No 7 tahun 2021 tentang RAN PE atau Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme.

Menurut Rakyan, salah satu bentuk pencegahan radikalisme-terorisme yang penting adalah dengan penguatan kapasitas aparatur negara.

“Ada perubahan tren bahwa pelaku terorisme tidak hanya dilakukan oleh masyarakat atau kelompok radikal dengan jenis kelamin pria. Tetapi juga menyasar ASN (aparatur sipil negara), perempuan dan anak,” lanjut Rakyan yang juga Wakil Sekretaris di Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI Pusat.

Di kelompok perempuan muncul “narasi” bahwa perempuan bisa terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Narasi yang lain adalah faktor “ketaatan” kepada suami. Misalnya dalam kasus Dita Oerpianto bersama istri dan keempat anaknya melakukan bom bunuh diri di gereja di Surabaya, lanjutnya.

Menurut Rakyan, penanggulangan radikalisme dan terorisme dapat dilakukan dengan deradikalisasi, rehabilitasi dan reintegrasi. Dalam konteks ASEAN, Rakyan berharap kesuksesan penanggulangan radikalisme dan terorisme, setidaknya lewat indikator menurunnya jumlah aksi terorisme, dapat memberikan dampak positif pada keamanan di ASEAN.

Sementara itu, Guru Besar UIN Jakarta Sudarnoto Abdul Hakim dalam tulisannya “Islamofobia di Asia Tenggara: Ancaman dan Penanggulangannya” memasukkan terorisme global oleh sejumlah ekstremis, selain faktor media, ketidakpahaman dan dinamika politik, sebagai faktor yang membentuk pandangan negatif terhadap Islam atau Islamophobia.

“Serangan seperti 9/11 atau serangan-serangan teroris lainnya telah memberikan citra negatif terhadap Islam secara umum, meskipun mayoritas umat Muslim menentang ekstremisme,” kata Sudarnoto yang juga Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI Pusat.

Menyikapi radikalisme dan terorisme, dosen Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang Ainur Alam Budi Utomo berpandangan bahwa ekstremisme beragama yang terjadi dikalangan sebagian generasi muda muslim Indonesia disebabkan minimnya pengetahuan teologi moderasi dalam Islam yang sebenarnya mudah untuk dicerna untuk dipahami oleh generasi muda muslim Indonesia.

Olehnya itu, lulusan Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam UI tersebut dalam tulisannya, “Teologi Moderasi Dalam Islam dan Internalisasinya Pada Generasi Muda Muslim Indonesia” menyarankan pentingnya implementasi moderasi beragama sebagai pondasi seorang Muslim dengan sikap moderat sesuai pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah (Sunni) yang menjadi keyakinan mayoritas umat Islam.

Gagasan terkait penanggulangan radikalisme dan terorisme tersebut memiliki titik-temu pada pentingnya memiliki sikap moderasi dalam beragama dan bagaimana mengimplementasikan sikap tersebut bagi perdamaian di Indonesia pada khususnya dan ASEAN pada umumnya. (lis/*)