Pemilu sedianya memiliki korelasi langsung dan signifikan bagi masa depan pendidikan, oleh karena melalui Pemilu. Masyarakat akan memilih Pemimpinnya yang kelak akan memiliki kewenangan eksekutorial atas kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan, mengusulkan program pendidikan serta perubahan-perubahan dalam sistim pendidikan secara nasional.
Pemilu idealnya tidak hanya diikuti oleh sejumlah Pemilih yang banyak (kuantitas), tapi juga diharapkan menghasilkan partisipasi Pemilih yang berkualitas pula. Untuk itu dibutuhkan prakondisi tertentu yang salah satunya adalah performance para pemilih (voters) yang melek, cerdas dan kritis secara politik, sehingga preferensi politiknya bersifat rasional (rational choice).
Pemilih rasional secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih yang buka saja memiliki pengetahuan dan kesadaran elektoral. Namun juga bebas dari beragam intimidasi, memiliki daya tahan atas serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan semisal money politics. Serta memahami arti pentingnya suara yang dimiliki atas setiap Pemilih dan konsekuensi atas pilihannya di kemudian hari.
Performance Pemilih dapat dipetakan dalam dua tipologi pemilih, yakni kecenderungan pemilih patronase, yakni jenis pemilih yang mendasarkan pilihannya pada ketokohan atau figur tertentu. Serta sosok pemilih yang tidak memiliki rasionalitas atau pemilih follower yang mengikuti suara mayoritas.
Pemilih Irrasional atau pemilih yang buta politik (political Illiteracy) memberi dampak terhadap pelaksanaan dan hasil Pemilu yang tidak berkualitas. Pemilu yang diwarnai praktek transaksional dan mobilisasi, Pemilu yang hanya melahirkan kandidat terpilih yang nir-integritas dan jauh dari kompeten, dalam perspektif ini tergambar betapa pentingnya Pemilih memperoleh perhatian, peningkatan kecerdasan dan daya kritisnya.
Sehingga pilihan politik ( voting behavior ) mereka masuk dalam kategori sebagai Pemilih rasional yang berkonstribusi positif pada hasil Pemilu yang berkualitas dengan performa partisipasi yang berkualitas pula demi peningkatan kecerdasan dan daya kritis Pemilih. Sehingga peran KPU dan Bawaslu di semua tingkatan selaku Penyelenggara Pemilu, Pemerintah maupun peserta Pemilu (Partai Politik) semestinya secara rutin melakukan pendidikan Pemilih (Voter Education) sebagai upaya membumikan literasi politik melalui kegiatan sosialisasi secara massif dan berkesinambungan. Ini dalam rangka peningkatan pengetahuan dan kesadaran teknis elektoral serta memberikan pemahaman aspek-aspek substantif elektoral, semisal tentang arti pentingnya satu suara yang diberikan di TPS oleh setiap pemilih.