Pemilu dan Masyarakat Sipil Online

Pemilu dan Masyarakat Sipil Online -

Tulisan ini diambil dari kumpulan tulisan Adi Arwan Alimin yang pernah dimuat di Harian Radar Sulbar. Penerbitan tulisan ini adalah upaya mereset kembali ingatan kita tentang Sulawesi Barat belasan tahun yang lalu. Selamat membaca!

Dunia terus saja berkembang. Semuanya berjalan begitu cepat, penulis tak bisa membayangkan bahwa dahulu dari kampung paling ujung dimana paman saya tinggal, hari ini kami telah dapat berhalo-halo. Isolasi geografi dan buruknya infrastruktur ditebas kemajuan teknologi komunikasi. Saat ini, hampir saja semua bisik-bisik telah dapat diakses sedemikian rupa.

Ledakan kekaguman ketika televisi muncul era tahun 1970-an di Wonomulyo, misalnya, telah amat dahsyat. Lalu 30 tahun kemudian, tidak hanya televisi, telepon rumah, internet, kini jejaring media sosial ibarat bom atom yang benar-benar memaksa pikiran banyak orang untuk terus-menerus menautkan ketergantungannya. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi tiga dekade mendatang.

Diskusi dengan ayah saya semasa hidupnya tentang dampak dan implikasi televisi dan media baca surat kabar, telah melampaui apa yang pernah kami bincangkan di pinggiran sungai Mahakam medio 1990-an. Bahwa bila tak hati-hati, televisi dan media dapat serupa candu yang membius. Dalam konteks hari ini media tentu dapat atau telah digunakan dengan beragam cara untuk mencapai tujuan positif kelompok, komunitas, atau organisasi secara makro.

[irp posts=”47″ name=”Jurnalisme Android”]

Bertahun-tahun penulis terus menjadi pembaca, penulis, pengamat konten media, dan saat-saat belakangan ini selalu menempatkan diri sebagai analis pada beragam isi dari bingkai media. Situasi kemudian mendaratkan pada kesimpulan bahwa kemudahan mengakses teknologi telah demikian membantu semua orang. Meski cara menggunakannya, sebagian orang masih sangat konvensional.

Teknologi internet hanya membutuhkan kemauan setiap orang apakah ingin terisolasi dalam banyak pilihan-pilihan untuk hidup lebih bermakna, atau tiap saat berselancar dalam gelombang informasi dan ilmu pengetahuan. Apa yang dilakukan banyak orang Indonesia saat ini, khususnya mereka yang menggunakan internet?

Di kampus, penulis selalu menyeru kepada mahasiswa, kecerdasan mereka tidak akan pernah terlecut bila tak mampu memanfaatkan semua fasilitas di internet. Munculnya jaringan internet yang dapat diakses secara luas makin membantu cara kita membaca dan memilih apa pun yang hendak dikunyah dari jejaring online. Persoalan dimana pun mereka duduk sebagai mahasiswa hanya ditentukan satu garis batas, tentang etos belajar juga tradisi membaca yang kerap jongkok.

Secara umum, pemakai internet di Indonesia kini telah berjumlah puluhan juta. Dalam hasil survei yang dirilis Kominfo (2010) dan sebuah lembaga riset independen IPSOS menyebut 83 persen atau sebagian besar adalah mereka yang juga memakai media sosial. Jumlah yang tidak sedikit itu lalu berkembang menjadi simpul masyarakat sipil di dunia maya atau online.

Meski ada yang menyebut masyarakat sipil memiliki interpretasi dan pengertian yang berbeda, tapi yang kita bincangkan di sini mengenai ranahnya yang kini membentang luas. Masyarakat sipil online dewasa ini di Indonesia tak lagi diragukan memiliki posisi penting dalam tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Kemunculannya menjadi sangat menarik sebab memiliki efek yang luar biasa dalam pengambilan keputusan, atau bahkan sanggup menekan hasil kebijakan.

Di beberapa negara maju, media konvensional banyak yang buru-buru bermetamorfosis menjadi situs berita online, karena melihat perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya. Dalam ranah politik, kedudukan masyarakat sipil online seperti konstituen yang memiliki tempat, dan daya tawar yang lebih sulit dan mahal. Di dunia nyata, politisi mungkin dapat menjadi majikan bagi kawula, tapi di dunia maya keadaan menjadi setara. Inilah salah satu keunggulan, sekaligus kelemahan dunia maya.

Itulah sebabnya, peradaban dunia politik dalam masyarakat sipil dewasa ini harus memperhatikan subtansi. Kemunculan masyarakat sipil online pada beragam aspek kehidupan kita, menjadi sesuatu yang menarik sekaligus sulit. Ini mungkin akan susah dimengerti, atau masih alot diterima. Yang jelas masyarakat sipil online dapat menjadi kelompok yang lebih terorganisir, dibanding publik (rakyat) lebih menerima, lunak dan tidak terorganisir.

Dalam amatan penulis, ruang media sosial masih kurang dimaksimalkan. Setiap hari, penulis terus memantau dan memolototi media surat kabar, dan jejaring sosial seperti Facebook hingga obrolan di BBM. Konten masih ajeg dan belum cukup membuat yakin. Apakah ini pengaruh advis dari tim-tim sukses atau mereka yang menyebut diri sebagai konsultan media?

Status di Facebook masih berupa amuk aktualisasi pribadi, belum sebagai cara menjual kapasitas. Penulis mencermati penggunaan media sosial untuk dua kepentingan, yakni menuju Pemilu 2014 dan konten yang beraroma Pemilukada di Polewali Mandar tahun 2013. Catatan ini dapat menjadi bahan diskusi untuk penguatan sosialisasi. Penulis sejauh ini belum membaca orientasi politik yang menunjukkan nilai budaya politik yang dapat diasumsikan bahwa seseorang atau pemilik akun tertentu mengerti politik.

Yang kita harapkan sebuah konstribusi yang berlangsung secara terus menerus dan relevan. Meskipun teori sosialisasi politik bersifat variatif. Tetapi paling tidak cara menghadapi masyarakat sipil online yang aktif dalam transformasi teknologi, sejatinya jauh lebih bernas. Orientasi politik “rakyat online” terhadap politik sangat kritis, diharapkan akan mampu mempengaruhi persepsi mereka akan legitimasi politik di dunia nyata.

Masa depan politik, khususnya di daerah kita tidak dapat diprediksi dengan mudah walau menggunakan cara apapun. Secara politik, demokrasi yang kita anut di Indonesia masih dalam taraf demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif. Ada pula yang bahkan menyebut sebagai demokrasi elektroral, yang hanya bertujuan memenangi pemilu dengan dulangan suara sebanyak-banyaknya.

Indonesia menempati urutan keempat di Asia setelah Cina, India dan Jepang dalam penggunaan internet. Di dunia kita diurutan kedelapan, dengan estimasi 55 juta orang yang menggunakan teknologi tersebut. Kini inovasi media sosial jelas telah menenteng perubahan. Di awal tahun 1990-an pengguna internet hanya puluhan ribu, lalu tumbuh lebih dari dua miliar manusia. Inilah difusi tercepat dari semua bentuk teknologi lainnya.

Di luar hitungan pengguna, domain, atau hosting dan sebagainya yang amat penting bagi kita dalam kepentingan sosial politik, yakni sejauhmana perubahan dalam masyarakat oleh internet dan media sosial. Apakah transformasi yang ditengahkan ke kehidupan kita, juga mengejewantah dalam pikiran-pikiran yang lebih kontekstual.

Penulis menganggap ini menjadi penting untuk dianalisis, khususnya bagi mereka yang terlanjur menggantungkan banyak kepentingannya ke dunia tuts dan layar sentuh. Sebagai masyarakat online, kita sepatutnya mencermati hal ini dalam realitas yang berdampak. Sebab kita telah begitu lama dan familiar berjuluk aktivis online, meski kita kadang mencecap kenyataan lain saban hari. (#)