Pa’ambi Beke: Menenun Harapan dari Kandang Kambing di Tanah Mandar

Oleh Muliadi Saleh

Di bawah langit biru Sulawesi Barat, di antara ladang hijau dan debur laut Mandar yang tak pernah lelah berbisik, hidup sekelompok orang yang dengan sabar menjaga warisan tradisi—mereka disebut Pa’ambi Beke, para pemelihara kambing. Bagi mereka, memelihara kambing bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga ihwal spiritual, budaya, dan kecintaan pada tanah leluhur.

Dari Kearifan Lokal ke Wawasan Global

Usaha peternakan kambing di Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, bukanlah hal baru. Ia tumbuh dari kultur agraris dan tradisi masyarakat yang menjadikan kambing sebagai hewan ritual dan simbol keseimbangan hidup. Namun, sejak 2022, geliat usaha ini berubah wujud menjadi gerakan ekonomi rakyat. Pemerintah Desa Tandassura, Kecamatan Limboro, mulai mengelola ternak kambing secara kolektif dan produktif, memanfaatkan dana desa untuk menguatkan ketahanan pangan.

Tak heran jika desa itu kini dijuluki calon “Kampung Peternak Kambing” oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulbar. Di sana, masyarakat membuktikan bahwa dari kandang sederhana bisa tumbuh masa depan yang gemilang.

Kenapa Kambing?

Mengapa bukan sapi, ayam, atau itik? Karena kambing telah menjadi bagian dari ritus dan nadi hidup orang Mandar. Dalam tradisi Mappandesasi, sebuah upacara spiritual masyarakat nelayan, kambing jantan wajib hadir sebagai pelengkap ritual bersama ayam jantan bulu sirua dan seekor sapi. Bagi orang Mandar, kambing adalah penghubung antara langit dan bumi, antara manusia dan alam.

Namun, alasan ekonomi tak kalah kuat. Kambing memiliki keunggulan: mudah dirawat, cepat berkembang biak, tahan terhadap penyakit, dan punya pasar yang stabil. “Kami melihat kambing sebagai investasi yang tumbuh cepat dan bisa menjadi penyangga ekonomi keluarga,” ujar Hassani, seorang peternak muda dari Polman, yang kini membina kelompok ternak binaan pemerintah desa.

Belajar dari Alam, Diteguhkan Ilmu

Kebanyakan Pa’ambi Beke belajar secara autodidak. Mereka mempelajari pola makan, siklus kawin, dan tanda-tanda penyakit ternak dari pengamatan dan petuah leluhur. Namun, zaman telah berubah. Untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Sulbar mengirim peternak dan petugas ke UD Kambing Burja di Malang, Jawa Timur.

Di sana mereka belajar inseminasi buatan, manajemen kandang, pakan fermentasi, hingga strategi pemasaran modern. “Peternak kita perlu beradaptasi dengan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal,” kata Kepala DTPHP Sulbar, Nasaruddin, dalam keterangannya (2023).

Pasar yang Tumbuh, Asa yang Menyala

Sulawesi Barat, berdasarkan data DTPHP tahun 2023, telah mengirim lebih dari 16 ribu ekor kambing ke luar daerah, utamanya Kalimantan. Pasar domestik juga terus berkembang, baik untuk daging maupun susu kambing. Pemerintah provinsi mendorong pengembangan kambing perah guna mendukung program makan bergizi bagi anak-anak dan keluarga rentan.

Dengan adanya Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan program penguatan SDM peternakan, masa depan Pa’ambi Beke terlihat cerah. Kombinasi antara teknologi, pembiayaan, dan semangat lokal membuka jalan baru menuju kesejahteraan yang lestari.

Hakekat Kambing dalam Jiwa Mandar

Dalam setiap embik yang menggema dari kandang bambu, tersimpan pesan tentang kesabaran, ketekunan, dan pengharapan. Kambing bukan hanya penghasil daging atau susu, melainkan simbol kehidupan yang bersahaja namun penuh makna.

Bagi orang Mandar, kambing adalah makhluk yang mengajarkan disiplin dan kedekatan dengan alam. Menyentuh bulunya yang kasar adalah menyentuh sejarah keluarga; merawatnya adalah merawat warisan budaya.

Kini, Pa’ambi Beke tak lagi hanya berjalan di pematang sunyi. Mereka menapaki jalur baru yang dipenuhi cahaya ilmu dan harapan. Dari kandang-kandang kecil di desa Mandar, kita belajar satu hal penting: bahwa masa depan bisa tumbuh dari suara embik yang sederhana, dari dedikasi yang jujur, dan dari kecintaan pada akar budaya sendiri.

Wallahu A’lamu Bissawaab.

-Moel’S@07052025-