Oleh : Muliadi Saleh
Dzulhijjah adalah jendela langit yang terbuka lebar bagi jiwa-jiwa yang merindu.
Bulan suci yang dibasuh airmata para kekasih Allah. Bulan di mana langit mendekap bumi yang makin lapang menampung jutaan rindu yang mengalir deras menuju Ka’bah.
Para pencinta tak lagi sibuk berdandan,
mereka menunduk—diam—tapi penuh harapan.
Biarlah rambut tumbuh menari di hembus angin,
biarlah kuku menjuntai bersama waktu yang kian hening,
karena kami sedang menunggu—bukan perintah manusia,
tapi getaran cinta dari Takdir Yang Maha Cinta.
Ini bukan sekadar larangan yang dituturkan hukum,
ini seruan lembut dari langit yang jauh dari kelum,
bahwa tubuhmu tak sedang berdosa bila belum terpangkas,
ia hanya diminta bersabar, untuk sesuatu yang lebih ikhlas.
Bukan pisau yang menjadi pusat makna,
tapi niat yang menggugurkan rasa “aku punya”.
Qurban bukan hanya menyembelih hewan,
tapi menyembelih rasa memiliki, sombong, ego, iri dan dengki.
Sufi berkata: jangan kau potong rambutmu,
jika hatimu belum rela untuk terlepas dari nafsumu.
Jangan cukur jenggotmu dengan angkuh di depan cermin,
sebab cermin sejati adalah jiwa yang jernih dari angin.
Idul Adha bukan pesta darah,
tapi pesta pasrah.
Ia bukan tentang domba dan tajamnya pisau,
tapi tentang sejauh mana kita berani menepi…
dari hiruk-pikuk dunia yang membutakan hati.
Belajarlah menahan diri,
sebab penantian adalah bagian dari bukti cinta sejati.
Jangan lahirmu rapi di luar,
sementara batin masih kusut dan liar penuh suara-suara gusar.
Tubuh ini hanyalah lembaran duka,
yang harus kita rawat dengan sabar dan suka,
karena siapa tahu,
Allah sedang menuliskan takdir indah melalui larangan-Nya.
Maka biarlah kami bersiap—dengan kuku panjang,
dengan rambut tak tersisir, dengan jenggot yang menjulang.
Karena kami sedang menyambut bukan pesta biasa,
tapi perjamuan jiwa dengan Sang Pencipta.
Kami ingin menjadi Ibrahim yang ikhlas,
menjadi Ismail yang tunduk tanpa batas,
dan menjadi diri kami sendiri,
yang akhirnya menemukan—bahwa cinta sejati
adalah ketika kau mampu menyembelih keakuan
dengan senyum penuh ketundukan.
Makassar, di bawah langit sepuluh awal Dzulhijjah