Narasi dari Bedah Buku “Jejak Dua Lelaki”

Narasi dari Bedah Buku "Jejak Dua Lelaki" -

“MENJADI pejuang bukanlah sebuah cita-cita, ini pilihan atas sebuah situasi yang berkembang, ketika kita dibutuhkan atas situasi itu, dan saya pilih itu,” kata Sahrir Hamdani dalam bedah buku “Jejak Dua Lelaki” yang dilaksanakan di kampus IAI DDI Polman, Rabu (12/10/2017).

Dengan kopiah berwarna hitam, salah satu pejuang pendiri pembentukan Provinsi Sulawesi Barat itu, menceritakan keputusannya rela berjuang mengorbankan karir akademisnya di Unhas untuk melahirkan Provinsi Malaqbiq.

“Memang seandainya saya hanya memikirkan diri saya, mungkin saya akan bertahan jadi dosen Unhas. Jadi mahasiswa Unhas saja saya sudah bangga, apalagi jadi dosen,” tuturnya dengan siku yang menyangga dagunya di atas podium.

Tapi Sahrir, memilih pertaruhkan karirnya, alasannya bukan untuk dirinya, selain merasa Sulbar ini bukan miliknya. Sulbar adalah barang pinjaman, kepada generasi yang belum lahir.

“Kalau saya di Jakarta biasa hanya modal Rp 1 juta pemberian dari Arifin Nurdin menantu dari H Zikir Sewai, Beli tiket Rp 599 ribu, bayar taksi dari kota ke Mandai, dari bandara ke Sukarno Hatta, sisa hanya Rp 155 ribu. Dan saya tidak tahu berapa lama tinggal di Jakarta, di mana tinggal, siapa yang memberi makan,” tuturnya yang sesekali mengarahkan pandangannya ke arah kiri, di mana ada dua tokoh muda yang menurutnya, membantunya menjadi seperti sekarang. Tokoh senior Teater Flamboyant Hamsah Ismail, dan penulis buku “Jejak Dua Lelaki”, Adi Arwan Alimin.

Menurutnya, yang bisa melakukan itu “orang gila” dan sampai hari ini Sulbar membutuhkan itu. Bukan gila jabatan, uang ataupun harta, tapi seseorang yang gila pengabdian.

Pada saat berjuang ingin mendirikan Sulbar, berbagai masalah menerpanya, orang menganggapnya apa yang dilakukannya, sebagai pekerjaan mustahil. “Alhamdulillah, mereka sudah menikmati perjuangan tersebut.”

Pada saat berjuang, terlalu banyak orang yang menunggu di tikungan. “Namun pilihan yang membuat ke sana, mau ditulis sejarah, menulis sejarah, menikmati sejarah atau membelokkan sejarah,” tuturnya lagi.

“Mau ditulis sejarah harus mau berkorban, tapi menikmati sejarah bisa menunggu di tikungan, dan membelokkan sejarah bisa menunggu di garis finis,” katanya yang disambut tepuk tangan para mahasiswa.

Pria kelahiran 4 Juni 1959, menyakini bahwa dukungan keluarga menjadi salah satu pendukung berhasilnya perjuangan tersebut. Pada saat berjuang, anak sulung masih berusia tujuh tahun. Dan, menurutnya masih membutuhkan kasih sayang dari seorang ayah.

“Sebagai orang tua, mestinya saya melayani anak-anak yang mau berangkat sekolah, memasangkan baju, kos kaki dan sepatunya. Tapi sering lalai karena harus meninggalkan rumah dan daerah karena tanggung jawab perjuangan,” ucapnya.

Perjuangan berat, menurutnya, diamanahkan untuk memimpin perjuangan di Polman. Dia dipilih setelah lepas dari anggota DPRD hasil Pemilu 1992. Kemudian dikirim ke Polman  untuk memimpin perjuangan. Pilihan itu disematkan kepadanya, karena dianggap memiliki sikap berontak. Bukan yang dekat dengan bupati, karena pada saat itu Bupati belum setuju dengan ide pembentukan Sulbar, termasuk Gubernur Selawesi Selatan.

Makanya, dicarilah saat itu yang berseberangan dengan pemerintah, maka dipililah Syahrir Hamdani. Pada saat memimpin perjuangan, keadaan saat itu sangat susah mencari sumbangan. Banyak yang mendukung menurutnya. Tapi mereka menolak dimasukkan dalam daftar perjuangan.

Kalau ada yang bertanya mengapa Syahrir pada saat perjuangan Sulbar selalu larinya ke Tinambung? “Jawabannya sederhana, kalau saya ingin menjadi pegawai saya hanya bergaul di Polewali saja, tapi mereka susah diajak berjuang karena selalu berfikir tentang karir, takut kehilangan.”

“Kalau mau jadi pengusaha, ya bergaul di Wono, kalau mau jadi ulama atau ustad cukup singgah di Lapeo dan Pambusuang. Tetapi kalau yang mau diurus adalah perjuangan Sulbar, maka pilihan tepat adalah harus bergaul dengan orang di Tinambung,” tegasnya yang membuat beberapa mahasiswa mengangah.

Menurutnya, tentu orang bertanya ada apa dengan Tinambung? Dengan penekanan nada yang tegas Syahrir, mengatakan, generasi orang Tinambung yang dia tahu sampai hari ini, adalah to andang naissang beta (orang yang tidak tahu menyerah).

“Kalau ada pekerjaan apalagi yang menyangkut kepentingan banyak orang pemuda Tinambung akan gentar untuk Mundur. Jika kalah, mereka akan mundur bersama-sama dan tidak akan mau meninggalkan barisan,” sambungnya, tetap membela kesunyian diantara ratusan deretan mahasiswa yang duduk melantai.

Itulah sehingga dirinya memilih bergaul dengan pemuda Tinambung, di sanalah dia mendapatkan spirit semangat untuk tidak tahu mundur dalam perjuangan tersebut. Sehingga Deklarasi Sulbar ada di Galung Lombok yang dihadiri banyak pasang mata. Yang diantaranya ada mata-mata yang diutus pemerintah untuk mengawasi pergerakannya.

#SudirmanSyarif