Mereka Kini Bertanya Padamu | Sebuah Puisi Imajiner

oleh
oleh

Karya: Adi Arwan Alimin

Suatu hari bila engkau bertemu mereka, mungkin masing-masing akan bertanya padamu, satu demi satu sebelum liang tak peduli apapun alasan khianat itu.

Imam Lapeo, dari pusara waktu dia menitip tanya pada jiwa mudamu.

“Masihkah api iman itu menyala,
Di antara badai dan duri dunia fana?
Masih cukup tegakkah langkahmu menenun asa, merawat suci warisan leluhurmu?”

Syekh Abdul Mannan, menyapamu dari kedalaman harapannya seraya membisikkan tanya, di antara rintik waktu yang senyap oleh zaman.

“Sudahkah benang ilmu kau rajut, tanpa goyah diterpa goda dunia yang melaju cepat akhir-akhir ini.”

Seberapa lapangkah hatimu, menahan gelombang amarah, agar harmoni tetap bersemi di tanah Mandar yang ramah?

Lalu datanglah Ibu Agung Andi Depu, perempuan perkasa itu yang suaranya menggetarkan penuh tanya. Dia memecah sepi dengan api seruan yang masih terdengar itu.

“Beranikah engkau melawan penindasan yang kembali menjelma?
Sebab kau tak boleh duduk memangku tanganmu lalu membiarkan kemerdekaan hanya manuskrip di lembar sejarah lama.”

Pegang teguh martabatmu dalam gurau yang kian menipis, agar engkau tak surut melipat sarungmu seolah kau bukan Tomuane.

Hammad Saleh Puanna Sudding, menggugatmu. Dia panglima abadi yang tak memiliki kata takut pada bedil dan angkara. Lelaki itu menyerumu dalam gemuruh zaman yang luruh memecah belah.

“Adakah kau telah membangun mimpi yang kami ukir dengan darah?
Kemerdekaan ini bukan sekadar kata-kata, yang berkelahi di nisan sejarah dan burai selongsong peluru.”

I Calo Ammana Wewang, sang lelaki yang sejarah menumpu padanya menisik belati di telingamu.

“Mampukah kau meluruskan akal sehat, menjernihkan pikiran tanpa khianat, agar pelita itu tetap cahaya menerangi jalan nan panjang perjuangan?” Katanya, saat menyentuh antara laut dan pasir Babbabulo sepulang dari Belitung.

Mara’dia Tokape,
“Adakah nyalimu membara, seperti dulu kala, melawan kolonialisme yang tak lagi serdadu bersenjata, tetapi merupa bayang-bayang yang menyusup diam-diam melemahkan kesadaranmu.”

Haji Zikir Sewai, sang dermawan itu merajut pesannya, agar kau tidak tumbuh sebagai anak-anak yang gemar merajuk manja, apalagi belajar mencuri di rumahmu sendiri.

“Rajutlah hati-hati, jangan biarkan kepentingan sempit memecah mengendali kemudi pelayaran tak menentu. Tetaplah jujur pada seluruh tarikan napasmu…”

Husni Jamaluddin, dari gelombang yang hening memanggilmu dalam sunyi perbedaan yang kian bising.

“Mampukah kau mendengar suara sesamamu yang lirih?

Masihkah Aku perlu bertanya sekali lagi tentang semua ini, katanya.

Kalman Bora mengingatkanmu agar tak digerus gemerlap kemewahan yang tumbuh dari nasib garis nasabmu. Dia yang terus menyokongmu tanpa pamrih ingin mengajukan tanya lebih banyak lagi.

“Apa yang telah kamu berikan untuk litaq Mandar ini?”

Pun Kiai Sahabuddin, sang penjaga ruh keagamaan itu memelukmu dalam rindang kata-kata mendayu.

“Seberapa kokoh iman di dalam dadamu tersembunyi? Saat gelombang rayuan dunia mengombang-ambingkan dirimu. Tetapi biarkan hatimu tetap bening meski kau berjalan dalam hening.”

Bunda Maemunah menulis catatan harian tentang perjalanan panjangnya, guru yang meninggalkan papan tulis itu memanggul senjata sambil melirikmu liris.

“Seberapa berani pikiranmu melawan tatapan bedil yang membuat gigil itu. Aku menenteng kesetian pada cinta yang menguji, sementara kulihat engkau ingin menjajakan kehormatan demi helai halaman waktu terbeli.”

“Jangan ambil bila bukan milikmu!”

Lantang Baharudddin Lopa sambil menetak godam di jantungmu. Serunya tanpa tanda tanya.

Mamuju, 13 Agustus 2025